28 Februari, 2009

Fenomena Ponari: Bukti Kegagalan Layanan Kesehatan Indonesia

Fenomena Ponari: Bukti Kegagalan Layanan Kesehatan Indonesia

Oleh: GUNAWAN,SH

 

Abstract

 

Adakah  pasien yang  sembuh, dan apakah ia benar-benar sembuh  ataukah hanya sugesti ? Ada yang menyatakan sembuh, tapi banyak yang menyatakan tak ada perubahan sama sekali. Fenomena apakah peristiwa Ponari ini? Fenomena Ponari adalah cermin kemiskinan dari masyarakat. Masyarakat miskin sekarang ini tak mampu berobat ke dokter maupun ke rumah sakit yang biayanya terasa amat mahal. Disamping itu pelayanan kesehatan yang murah dari pemerintah belum memenuhi kebutuhan masyarakat bawah, terutama di dusun-dusun. Maka tak heran jika masyarakat miskin maupun masyarakat yang tingkat ekonominya belum mapan, membanjiri rumah Ponari untuk mendapatkan pengobatan yang murah dan meriah. Fenomena Ponari juga mencerminkan masih kuatnya orang-orang percaya pada hal-hal yang mistik ketimbang hal yang rasional di bidang pengobatan maupun lainnya.

 

Mohammad Ponari (9 tahun), anak SD kelas 3, warga dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tiba-tiba saja menjadi “Dukun Tiban” (jadi dukun mendadak). Dengan berbekal “batu ajaib”, ia mengobati pasiennya dengan cara mencelupkan batu saktinya ke segelas air lalu si pasien disuruh meminumnya, dan konon sang pasien merasa sembuh. Ada kalanya Ponari melakukan pijatan ke tubuh pasien yang mengalami kelumpuhan. Sejak namanya tenar sebagai “juru penyembuh”, rumahnya dibanjiri puluhan ribu calon pasien yang tumpah ruah datang ke dusunnya.

 

Bagaimana awal mulanya Ponari mendapatkan batu ajaib itu ?  Begini kisahnya, Ponari bermain di bawah guyuran air hujan dan petir menyambar-nyambar di atasnya. Tiba-tiba tubuh bocah itu kemasukkan hawa panas, seperti batu terkena sambaran petir. Saat itulah di bawahnya muncul batu sebesar kepalan tangan, berwarna kehitaman. Batu ini, oleh Ponari dibawa pulang.

 

Ceritera “kesaktian” Ponari ini akhirnya menyebar dari mulut ke mulut ke berbagai tempat. Puluhan ribu orangpun kemudian berbondong-bondong ke rumah Ponari untuk memperoleh pengobatan air celupan batu. Kebanyakan yang menyerbu ke rumah Ponari adalah  kalangan orang-orang miskin, walaupun ada juga orang kaya yang ikut nimbrung terutama yang frustasi karena penyakitnya tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter.

Beberapa waktu lalu, media massa ramai memberitakan fenomena Ponari, bocah berumur 10 tahun dari dusun Kedungsari, Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang. Bocah itu mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Cara penyembuhannya jauh berbeda dengan praktik dokter pada umumya.

Kebanyakan dari mereka adalah rakyat miskin, yang jelas tak memiliki banyak uang untuk menjadi pasien di klinik dokter, apalagi di rumah sakit yang notabene adalah tempat orang untuk berobat. Sudah menjadi rahasia umum bila kesehatan di masyarakat kita teramat mahal. Hingga muncul anekdot, orang miskin tak boleh sakit. Memang, negara telah menyediakan Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas, tetapi pelayanannya sering kali menyedihkan. Misal saja di Puskesmas dekat tempat saya tinggal. Puskesmas ini baru melayani pasien mulai pukul sembilan pagi. Tak jarang dokter yang bertugas datang terlambat hingga 30 menit.

Fenomena Pelayanan Kesehatan

Penulis pernah menyaksikan seorang dokter di sebuah puskesmas memeriksa pasien sambil ngobrol lewat ponselnya. Stetoskop hanya dikalungkan di leher, sama sekali tak digunakan. Sang dokter hanya bertanya dan menulis resep. Terkesan dokter memeriksa pasien dengan separuh hati. Seharusnya, mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan saat mereka bertugas. Melayani masyarakat miskin dengan sepenuh hati. Menyamakan kedudukan pasien miskin dengan dirinya yang juga manusia. Puskesmas tak jarang enggan melayani pasien yang datang setelah pukul sebelas lewat. Anehnya lagi, dokter sering tak ada dengan alasan sedang keluar. Ini contoh kecil kurang maksimalnya pelayanan kesehatan terhadap rakyat kecil.

Untuk ke dokter yang membuka praktik pribadi? Hanya orang-orang yang memiliki uang yang bisa dengan rutin mengunjungi dokter. Si miskin sering kali tak berdaya ketika dibeberkan berapa biaya yang mesti dibayar. Mengunjungi rumah sakit? Lebih mengenaskan lagi. Untuk rumah sakit Cipto Mangunkusumo yang notabene melayani seluruh kalangan masyarakat dengan biaya lebih murah sering kali terjadi pembiaran terhadap pasien. 

Rumah sakit di negeri kita bukanlah tempat yang nyaman untuk mencari kesembuhan. Untuk bisa menghuni sebuah kamar perawatan, keluarga pasien meski merogoh kantong dalam-dalam sebagai uang muka. Tanpa membayar minimal uang muka, jangan harap bisa mendapatkan perawatan yang semestinya. Tak jarang pasien bertambah parah karena tak cepat ditangani. Itulah sekelumit potret buram buruknya pelayanan kesehatan di negeri kita.

Tak heran orang-orang yang berkantong tebal memilih terbang ke luar negeri, Singapura. Di sinilah surga mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Kurang manusiawinya pelayanan kesehatan di rumah sakit kita membuat orang Indonesia mencari kesembuhan ke sana. 50 persen pasien luar Singapura adalah warga negara Indonesia. Mengapa? Pelayanan kesehatan di luar, termasuk Singapura, sangat ramah dan mudah. 

Bagaimana dengan orang miskin di negeri kita? Karena pelayanan kesehatan di negeri kita kurang menyenangkan buat saudara kita yang miskin, mereka pun mencari jalur lain. Alternatif. Baik alternatif orangnya, ilmunya, obatnya, maupun biayanya. Kembali lagi ke dukun cilik Ponari yang mencengangkan dan memilukan bagi dunia kesehatan kita, nalar sehat pun menjadi terlupakan. Batu ajaib Ponari jelas tak akan bisa diterima oleh kalangan kesehatan negeri kita. Tetapi, kemiskinan senantiasa dekat dengan kurangnya kecerdasan dalam berpikir. Mereka berbondong-bondong karena emosi mereka yang ingin cepat terlepas dari derita.

Fenomena Ponari adalah tantangan bagi dunia kesehatan kita. Seyogianya, pemerintah mulai memikirkan langkah apa yang harus diambil untuk meluruskan tingkah laku rakyat dalam berobat. Dukun Ponari mestinya menjadi media pengingat bagi negara, yakni pemerintah, untuk memperbaiki bentuk pelayanan kesehatan yang mampu menyentuh orang miskin. 

Sebenarnya, pemerintah pernah mengeluarkan program Askeskin pada 2005. Ini menggembirakan tentu. Tapi, masalahnya, pelaksanaannya di lapangan tidaklah mulus. Misalnya, lambannya pembayaran klaim rumah sakit, sampai-sampai ada rumah sakit yang kemudian menolak melayani peserta Askeskin ini. Ada pula yang menggelembungkan jumlah klaim. Itu semua membuat pelaksanaan progam ini menjadi terganggu.

Di luar soal ini, sudah waktunya negara menyikapi serius masalah kesehatan ini. Tidak hanya tingkat kebijakan, juga pelaksanaan di lapangan. Seperti banyak dikeluhkan masyarakat, tempat-tempat layanan kesehatan, mulai puskesmas sampai rumah sakit, belum memberikan layanan maksimal. Bahkan, rumah sakit kini terasa hampir kehilangan misi kemanusiaan. Rumah sakit yang mestinya memberi pertolongan sudah masuk ke wilayah kapitalis. Uang dijadikan mesin utama di rumah sakit-rumah sakit kita.

Fenomena Kepercayaan Masyarakat Kekuatan Supranatural bagi Kesehatan

Kepercayaan kepada yang supranatural sudah berumur lama. Sejak zaman dahulu nenek moyang kita sudah percaya pada animisme dan dinamisme, percaya kepada benda-benda yang dianggap keramat, seperti pohon, binatang, dan bebatuan. Meskipun teknologi sudah memodernkan kehidupan masyarakat, tetapi tetap saja ada ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau oleh teknologi modern.

Ilmu kedokteran tampaknya tidak bisa mengubah secara keseluruhan kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda keramat untuk penyembuhan. Ada ruang batin yang tidak bisa disentuh oleh ilmu pengetahuan, karena hubungannya sangat primordial-vertikal dan tidak bisa dijelaskan secara ilmiah.

 

Fenomena masyarakat yang percaya kepada pengobatan alternatif yang berbau mistik, bukan terjadi pada Ponari saja. Di tempat lain, masih banyak pengobatan alternatif yang berbau mistik, dukun, dan klenik. Dan, yang terjadi, masyarakat masih mempercayainya, meskipun telah di- judge oleh agama sebagai syirik dan dipandang oleh ilmu pengetahuan sebagai "tidak ilmiah".

 

Agama yang menganggapnya sebagai syirik tidak mampu membendung arus kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan supranatural yang ada di sekitarnya. Kolaborasi agama dan ilmu pengetahuan dalam memandang fenomena dukun cilik Ponari, misalnya, sebagai "syirik" dan "tidak ilmiah" tidak akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Bagaimana pun manusia sejak awal terus melakukan pencarian terhadap kekuatan supranatural-mistik.

 

Sebab, bagaimana pun manusia butuh sesuatu yang ajaib, memukau, hebat, dan di luar akal manusia. Karena itulah, Tuhan menurunkan para nabi ke muka Bumi yang dibekali dengan keajaiban-keajaiban yang disebut mukjizat. Kemampuan menyembuhkan adalah salah satu dari keajaiban yang diberikan Tuhan kepada para nabi untuk membuat daya tarik bagi umatnya. Inilah cara para nabi untuk menyebarkan agama kepada umatnya.

 

Apa yang terjadi pada diri Ponari merupakan berkah dari Tuhan yang tetap saja memiliki kelemahan-kelemahan. Kekuatan supranatural yang dimiliknya tidak menjadikan dia bebas dari kekeliruan dan kesalahan. Karena itulah, masyarakat sudah seharusnya menyikapi dukun cilik Ponari secara proporsional. Dengan demikian tidak bertabrakan dengan keyakinan agama yang dimilikinya.


Fenomena Kebijakan Pemerintah tentang Kesehatan Memprihatinkan

Meski lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi bagus, kinerja kesehatan Indonesia masih tertinggal. Tahun 2008, anggaran kesehatan hanya 2,49 persen dari APBN. Tahun 2009, anggaran kesehatan naik ke 2,8 persen dari total APBN, sementara standar WHO sebesar 15 persen (Kompas, 6/1/2008). Bila harus memilih, mestinya kesehatan lebih utama ketimbang pendidikan yang meraup anggaran 20 persen.

Wajar jika kinerja kesehatan masih tersisih. Angka kematian ibu masih tinggi dan diperkirakan Indonesia akan gagal meraih target MDGs 2015. Meski kini Indonesia ramai dengan rumah sakit internasional, kita juga disodori berita seperti meninggalnya Muhammad Reinaldi (lima bulan) di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ia dipulangkan sesudah dirawat selama 29 hari karena orangtuanya tidak mampu membayar biaya perawatan (Berita Kota, 1/11/2008).

Ketimpangan hak atas kesehatan akan berlanjut jika perubahan tidak dilakukan. Ketiadaan asuransi sosial menjadi sebab. Lindhental (2004) mencatat, dari 210 juta lebih penduduk, hanya 17 juta jiwa yang terlindungi asuransi kesehatan. Apalagi praktik yang ada membolehkan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dokter) menarik biaya dari pengguna tanpa batasan. Pemerintah daerah bahkan menggunakan pendapatan ini sebagai sumber utama pendapatan asli daerah ketimbang pajak jasa restoran dan usaha hiburan. Ini tidak lain pajak regresif bagi yang lemah (GTZ, 2008).

Guru besar kesehatan masyarakat UI, Hasbullah Thabrany, menunjukkan, yang terjadi adalah you get what you pay for, akses atas jasa kesehatan ditentukan daya beli dan pendapatan. Padahal, daya beli dan pendapatan rata-rata keluarga Indonesia masih setingkat UMR. Pasar kesehatan dan usaha swasta kesehatan dapat dibenarkan asal akses bagi yang lemah menjadi mudah dan kinerja kesehatan nasional tidak inferior. Patut diingat, derajat kesehatan sebuah bangsa bukan ditentukan besaran kue ekonomi, tetapi distribusi kue ekonomi. Itulah hasil kajian kinerja kesehatan antarbangsa oleh Norman Daniels, guru besar Universitas Harvard (2001).

Daftar Pustaka:

1.      Munir Misbah; fenomena dukun cilik Ponari dari Jombang: bukti kegagalan layanan kesehatan Indonesia, http://misbahmunir.wordpress.com/e-book paper/ , diakses Jumat, 13 Februari 2009.

2.      Bahagijo Sugeng; Kesehatan Untuk Semua; http://cetak.Kompas.com/, diakses Senin 2 Februari 2009;

3.      Zeda Khamami; Kekuatan Supranatural; http://www.suarakarya-online.com/, diakses Jumat 20 Februari 2009

4.      Yudhistira Widya Dianing;Ponari dan Mahalnya Sakit;http://www.republika.co.id/, diakses Rabu, 18 Februari 2009 pukul 07:26:00

5.      Ferdina Sandy Juwair;Ponari dan Sulitnya Ekonomi;http://www.republika.co.id/diakses Jumat, 13 Februari 2009

 

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus