28 Februari, 2009

RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU HUKUM

RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU HUKUM:

CONTOH PERMASALAHAN HUKUM YANG MEMBUTUHKAN PENJELASAN DARI SOSIOLOGI HUKUM

 

 

1.      Pendahuluan

Sebelum masuk keranah sosiologi hukum, yang pada tulisan ini khusus membahas tentang ruang lingkup sosiologi hukum dan kontribusinya terhadap perkembangan Ilmu hukum, yang  nantinya pada akhir tulisan ini dikupas fakta empirik permasalahan hukum yang membutuhkan penjelasan dari sosiologi hukum.

 

Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama; keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Namun demikian, hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komperhensif. Demikian pula Mr. Dr. Kisch mengatakan bahwa oleh karena hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh panca inder, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum.[1]

 

Sekalipun demikian, pengertian hukum perlu dikemukakan di sini sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya. Pengertian yang mungkin diberikan pada hukum adalah sebagai berikut :

1)   Hukum dalam arti ilmu;

2)   Hukum dalam arti disiplin atau system ajaran tentang kenyataan;

3)   Hukum dalam arti kaedah atau norma;

4)   Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis;

5)   Hukum dalam arti keputusan pejabat;

6)   Hukum dalam arti petugas;

7)   Hukum dalam arti proses pemerintahan;

8)   Hukum dalam arti perilaku yang teratur;

9)   Hukum dalam arti jalinan nilai.

 

Selain pengertian tersebut di atas dapatlah dikemukakan beberapa pendapat para ahli. Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya. Demikian pula Soediman mendefinisikan hukum sebagai pikiran atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.[2]

 

Beberapa pengertian hukum sebagaimana terurai di atas menunjukkan pada kita bahwa hukum memiliki banyak dimensi yang sulit untuk disatukan, mengingat masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) pengertian dasar : Pertam, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis.[3]

 

Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pusat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang biasa kita bicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normatif-analitis.[4]

 

Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana/alat untuk mengatur masyarakat, maka metode yang dipergunkan adalah metoda sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkrit dalam masyarakat.[5]

 

Memang, baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum; akan tetapi sudut pandang ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda. Hukum adalah suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala tersebut serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah tersebut, oleh karena kaidah-kaidah tadi seringkali tidak jelas. Pelbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat harus digolong-golongkan ke dalam suatu klasifikasi yang sistematis, dan ini juga merupakan salah satu tugas dari ilmu hukum.[6]

 

Sosiologi Hukum merupakan cabang ilmu yang termuda dari cabang ilmu hukum yang lain, hal itu tampak pada hasil karya tentang sosiologi hukum yang hingga kini masih sangat sedikit. Hal itu di karenakan eksistensi sosiologi hukum sebagai ilmu yang baru yang berdiri sendiri, banyak di tentang oleh para ahli, baik ahli hukum ataupun ahli sosiologi.

2.      Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat.  Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola prikelakuan atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola kelakuan itu. Di dalam hal yang pertama, bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola kelakuan? Inikah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi hukum.[7]

 

Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginan-keinginan kelompok-kelompok sosial. Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perikelakuan yang bersifat yuridis? Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu hukum, akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya. Untuk meneliti hal itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai hukum sebagai suatu gejala sosial. Jadi, pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serts faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.[8]

 

Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga  mencakup 2 (dua) hal, yaitu :[9]

1.         Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan.

2.         Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh :

UU PMA terhadap gejala ekonomi

UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik

UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza

UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.

 

Sosiologi Hukum dalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum dan lain-lain.

 

Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari :[10]

1.      Pendekatan Instrumental

Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat.

2.      Pendekatan Hukum Alam

Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini,  seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick).

3.      Kontribusi Sosiologi Hukum Terhadap Perkembangan Ilmu Hukum

Bahwa perkembangan ilmu hukum di masa depan perlu diarahkan secara lebih empiris dan induktif daripada kecendrungan yang bersifat deduktif dan normatif seperti yang selama ini dikembangkan, ketika pradigma ini tidak mampu lagi menerangkan realitas yang diamatinya. Oleh karena itu, sisa-sisa dari materi pendidikan hukum dogmatik baru, diisi dengan materi yang sifatnya mengasah nalar. Misalnya Penalaran Hukum, Metodologi Hukum, Sosiologi Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum.[11]

 

Sosilogi hukum berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam sosial. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana untuk merubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.[12]

 

Pembidangan lebih khusus dari kajian sosiologi hukum, juga sering dilakukan oleh para sosiolog hukum. Gurvitch misalnya (1961: 82,83) memisahkan 3 masalah sosiologi hukum yaitu:[13]

 

Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, yang merupakan telaah manifestasi hukum sebagai fungsi bentuk-bentuk kemasyarakatan dan taraf-taraf kenyataan sosial. Masalah-masalah ini dapat dipecahkan semata-mata dengan apa yang hendak kita sebut mikrososiologi hukum. Masalah-masalah sosiologi hukum differensial, menelaah manifestasi-manifestasi hukum sebagai suatu fungsi satuan-satuan kolektif yang nyata, yang pemecahannya terdapat dalam tipologi hukum dari kelompok-kelompok terientu.

 

Masalah-masalah sosiologi hukum genetis, yang dianalisis dengan mikrososiologi hukum yang dinamis, menelaah keteraturan-keteraturan sebagai tendensi-tendensi dan faktor-faktor dari perubahan, perkembangan dan keruntuhan hukum di dalam suatu tipe masyarakat tertentu.

 

Pembidangan dari Gurvitch di atas terlalu rumit untuk tahap pengenalan sosiologi hukum. Jauh lebih baik jika kita membedakan sosiologi hukum ke dalam :[14]Sosiologi hukum yang makro, yang berusaha untuk melihat hubungan antara hukum sebagai sistem, dengan bidang-bidang di luar hukum. Dan Sosiologi hukum yang mikro, yang berusaha membahas mengenai lingkungan pekerjaan terbatas di bidang hukum, seperti: Pengadilan, Kepolisian, Legislatif, dan Iain-lain.

 

Hukum dapat dipahami sebagai gejala masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan hukum yang berlaku dalam masyarakat, merupakan obyek dari ilmu pengetahuan hukum. Tapi tentunya ilmu hukum saja tidak bisa bediri sendiri untuk mencatat setiap gejala-gejal yang timbul pada masyarakat yang ada, ia juga membutuhkan ilmu yang lain untuk tujuan tersebut, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, dan antropologi hukum.

Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum dari segi sosial mempunyai beberapa karakteristik study hukum secara sosiologis sebagai berikut:

1.      Sosiologi hukum bertujuan untuk memberian penjelasan terhadap praktek-prektek hukum. Apabila praktek itu di bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapanya, dan pengadilanya, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Penjelasan sosiologi hukum atas alasan terjadinya praktek hukum dan faktor yang berpengaruh dalam pembentukanya, latar belakang, tujuan dsb. Penjelsan ini memang asing kedengaranya bagi studi hukum "tradisional", yang bersifat prespektif, yang hanya berkisar pada "apa hukumnya" dan "bagaimana penerapanya". Maka Weber menamakan cara pendekatan yang demikian itu sebagai interprestatif understanding, yaitu dengan cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku sosial. Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu "luar" dan "dalam". Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang.  Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.

2.      Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah "Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?", "Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?". Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada p-eraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris).

3.      Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum,. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata.


Melihat kuantitas masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin bertambah, yang berarti juga makin banyak kepentingan individu yang ada, dalam hal ini tentunya banyak sekali tumpang tindih kepentingan yang ada dalam pembentukan suatu hukum, dan tentunya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Suara mayoritas selalu menentukan dalam hal ini, dan hal ini tidak menjamin suatu perbaikan dalam hukum.[15] 

Dengan demikian sosiologi  hukum mempunyai arti penting dalam kajian ilmu hukum. Secara keseluruhan Kegunaan sosiologi hukum adalah sebagaiberikut:[16]

1.    Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tdk tertulis) di dlm ngr/masyarakat.

2.    Mengetahui  efektifitas berlakunya   hukum positif di dalam masyarakat.

3.    Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.

4.    Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.

5.    Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di masyarakat.

 

4.      Contoh Permasalahan Hukum yang Membutuhkan Penjelasan dari Sosiologi Hukum:  Tentang Praktek Pernikahan di Bawah Umur

Permasalahan nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident), dan lain-lain.

 

Di kampung penulis sendiri, kerap terjadi pernikahan di bawah umur, terutama pihak mempelai perempuan. Kesulitan ekonomi adalah penyebab utama terjadinya pernikahan dibawah umur. Kesulitan ekonomi juga berdampak pada rendahnya pendidikan, karena orang tua tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sehingga sang anak menjadi putus sekolah, rendahnya pendidikan menyebabkan kesulitan untuk mencari kerja.

 

Orang tua mempelai perempuan terpaksa mengizinkan anaknya menikah di bawah umur,  disebabkan karena, harapan orang tua, yang merasa ketika anaknya sudah menikah, maka beban hidup sehari-hari menjadi tanggungan suaminya, sehingga beban ekonominya berkurang, dan juga berharap anaknya yang sudah menikah dapat membantu kebutuhan adik-daiknya. dan juga nilai-nilai agama setempat juga memperbolehkan anak perempuan menikah ketika sudah masuk masa balegh/mensturansi.

 

Pernikahan di bawah umur , selain menimbulkan masalah sosial, juga bisa menimbulkan masalah hukum.  Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa sebagai contoh  yang akhir-akhir ini ramai di media, membuka ruang kontroversi  bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.[17]

 

Fenomena Gunung Es

Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi atau Kak Seto menjelaskan, kasus yang terjadi pada Syekh Puji merupakan fenomena gunung es.[18]

 

Di Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu misalnya, di daerah tersebut perempuan rata-rata menikah pada usia 14-15 tahun, sedangkan laki-laki berusia 17-20 tahun. Untuk menutupi status usia yang masih di bawah umur, tidak jarang dari mereka yang memalsukan usia.[19]

 

Di tempat lain seperti di Desa Leggung Barat, Kabupaten Sumenep, menikahkan anak usia dini untuk perempuan 13 tahun, lulus SD dan laki-laki 15 tahun atau usia SMP merupakan hal wajar.[20]

 

Pernikahan usia muda serta pernikahan di bawah umur sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur agar beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Atau bahkan dengan pernikahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan derajat ekonomi keluarga. Ada pula yang menikahkan anak perempuannya yang dibawah umur karena alasan tradisi.[21]

 

Sebab itu pula yang menjadi dasar dari pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa. Pernikahan tersebut telah mengangkat status ekonomi anak pasangan Suroso (35) dan Siti Hurairah (33).[22]

 

Hukum Perkawinan

Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.  Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2).  Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun. [23]

 

Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. [24]

 

Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.

 

Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI)[25]

 

KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: (1) para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; (2) suami atau isteri; (3) pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang; (4) para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).[26]

 

Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.  Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.[27]

 

Sama halnya dengan hukum adat.  Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya.  Dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.[28]

 

Kriminalisasi Nikah di Bawah Umur

Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum. Yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun. [29]

 

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan secara eksplisit tentang usia bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).[30]

Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : (c ) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.[31]

 

Perkawinan adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga, atau kesulitan dalam menghadirkan alat bukti.

 

Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.

 

Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.

 

Peranan Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum mempergunakan hukum sebagai titik pusat penyelidikanya. Dengan berpangkal pada kaidah-kaidah yang diuraikan dalam undang-undang, keputusan –keputusan pemerintah, peraturan, kontrak, keputusan hakim, tulisan-tulisan yang bersifat yuridis, dan sumber-sumber hukum yang lain. Sosiologi Hukum menyelidiki sampai di manakah kaidah-kaidah tersebut dengan sungguh-sungguh dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat, dengan perkataan lain hidup masyarakat mengikutinya dan menyimpang darinya, dengan maksud mencapai pencatatan tentang aturan-aturan hukum yang sebagai kenyataan diikuti dalam pergaulan masyarakat,. Dari sangkutpaut sosiologis antara hukum dan gejala–gejala lainya ia mencoba menerangakan, di satu pihak menerangakan mengapa terdapat peraturan hukum yang kongkrit sebagaiman yang kini terdapat, pada lain pihak pengaruh apa yang di adakan oleh peraturan hukum tersebut atas gejala-gejala masyarakat lainya.

Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa serta penikahan pernikahan di bawah umur yang lainnya, merupakan kajian sosiologi hukum karena kalau dilihat dari sudut pandang normatif saja sulit untuk dijelaskan khususnya oleh pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir.  Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya yang mengendap di bawah permukaan laksana gunung es. [32]

Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang ‘tak bergigi’, karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.

 

Tidak hanya masalah nikah di bawah umur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan juga terjadi pada kasus pernikahan poligami, pernikahan di bawah tangan, perceraian di bawah tangan, pelanggaran hak-hak mantan isteri, mantan suami ataupun anak-anak dalam perceraian, dan lain-lain. 

 

Untuk itulah, kajian ilmu sosiologi hukum selalu mengajukan pertanyaan yang karakteristik seperti: "Seberapa efektivitas dari peraturan-perturan hukum tertentu?", "Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektivitas peraturan hukum-hukum tertentu?", "Apakah sebabnya orang taat kepada hukum?", "Golongan mana yang di untungkan dari perturan hukum yang di buat?", dan lain sebagainya yang menjadi obyek penyelidikan sosiologi hukum.

Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan keadilan?  Kemudian,  mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmoniskan perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?

 

Untuk itulah peranan sosiologi hukum yang berusaha untuk mengupas hukum, sehingga hukum itu tidak di pisahkan dari praktek penyelenggaraanya, tidak hanya bersifat kritis melaikan juga kreatif. Kekreatifitasan ini terkletak pada kemampuannya untuk menunjukan adanya tujuan-tujuan serta nilai-nilai tertentu yang ingin di capai oleh hukum. Sosiologi hukum akan bisa mengingatkan orang kepada adanya tujuan-tujuan yang demikian itu. Ilmu ini akan mampu juga memberikan informasi mengenai hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi pelaksanaan suatu ide hukum dan dengan demikian akan sangat berjasa guna menghindari dan mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Dengan demikian maka perlu untuk melakukan revisi atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  adalah satu alternatifnya. Namun juga itu bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup dimasyarakat tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan di Indonesia. 

 

Daftar Pustaka:

1.       Warassih Esmi,Prof.Dr.SH,MS; Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis; Suryandaru Utama;2005

2.       Soekanto Soerjono,Prof.DR.SH,MA. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,RajaGrafindo Persada;1998

3.       Dimyati Khudzaifah,Prof.Dr.SH,Mhum; Pola Pemikiran Hukum Resposif:Studi Atas Proses Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia;Jurnal Ilmu Hukum,Vol.10 No.1 Tahun 2007

4.       Paramita Shintta Sarie,SH; Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan, Justitia Omnibus, www. galaxyandromdha.blogspot.com; 2008

5.       Abimanyu Timur,SH; Analisa Sosiologi Hukum Berdasarkan Meetode Pendekatan dan Fungsi Hukum,www.blogkatalog.com; 2008

6.       Nitibaskara Tb. Ronny Rahman, Prof. Dr. SH, dan Umar Widodo Bambang, Dr. SH, slide mata kuliah sosiologi Hukum, PTIK.

7.       Susetyo Heru,SH; Pernikahan di Bawah Umur: Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum;www.hukumonline.com; 2008

8.        Aji Fia S,Urgensi Kajian Sosiologis Terhadap Hukum;www.fiaji.blogspot.com 2008

9.      Belajar dari Kasus Syekh Puji.www.antara.co.id 2008

10.   UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

11.   UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

12.   KUHP

13.   Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

14.   Catatan Kuliah Sosiologi Hukum



[1] Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Semarang 2005, halaman 21

[2] Ibid,halaman 22

[3] Ibid,halaman 23

[4] Ibid

[5] ibid

[6] Soerjono Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum,Jakarta 2003 halaman 10

[7] Soerjono Soekanto,Op,Cit,halaman 11

[8] Ibid,halaman 12

[9] Shitta Paramita Sarie, Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan,Justitia Omnibus. 2008

[10] Timur Abimanyu, Analisa Sosiologi Hukum Berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi, BlogCatalog 2008

[11] Khudzaifah Dimyati; Pola Pemikiran Hukum Rensponsif:Sebuah Studi Atas Proses Pembangunan Hukum Indonesia;Jurnal Ilmu Hukum;2007

[12] Fia S Aji, Urgensi Kajian Sosiologis Terhadap Hukum, www.fiaji.blogspot.com 2008

[13] ibid

[14] Fia S Aji ,ibid.

[15] Catatan kuliah Sosiologi Hukum

[16] Tb.Ronny Rahman Nitibaskara dan Bambang Widodo Umar, Slide mata kuliah Sosiologi Hukum,PTIK.

[17] Heru Susetyo,Pernikahan di bawah umur:Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum,www.hukumonline.com 2008

[18] . Belajar dari Kasus Seyekh Puji, www.antara.co.id 2008

[19] Ibid

[20] ibid

[21] ibid

[22] ibid

[23] Heru Susetyo, Ibid

[24] Heru Susetyo ,Ibid

[25] Heru Susetyo ,ibid

[26] UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

[27] Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

 

[28] Heru Susetyo,Op,Cit.

[29] KUHP

[30] UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

[31] Ibid

[32] Heru Susetyo,Op,Cit.

-bQfn4 ormal'>Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.”

 

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 juga menyatakan: “Semua badan negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.

Sehingga politik hukum tentang hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah  Aturan Peralihan UUD 45, (Pasal II pra amandemenpasal I post amandemen), Pasal 3 Peraturan Osamu Sirei No.1 Th 1942 dan Pasal 131 dan 163 I.S.

 

Sedangkan tentang badan peradilan, kebijakan pemerintah nasional pasca kemerdekaan adalah sebagai beriktu:

1.      Mempertahankan unifikasi badan-badan peradilan (diberlakukan bagi semua golongan penduduk)

2.      Struktur lembaga-lembaga peradilan yang ada disederhanakan lagi menjadi sebagai berikut:

o   Gun Hoin (Districtsgerecht), Ken Hoin (Regentschapsgerecht), dan Keizai Hoin (Landsgerecht) dihapus, dan fungsinya semua dialihkan ke Tiho Hoin (Landraad) yang kemudian bernama Pengadilan Negeri sbg pengadilan umum tk.I

o   Koto Hoin (Raad van Justite) dijadikan pengadilan tk. banding (tk.II) dan bernama PengadilanTinggi

o   Saiko Hoin (Hooggerechtshof) dijadikan sbg pengadilan tk. Kasasi dan bernamaMahkamah Agung.

 

Sehingga struktur sistem lembaga peradilan di Indonesia saat ini:

Districtsgerecht (Gun Hoin), Regentschapsgerecht (Ken Hoin), Landsgerecht (Keizai Hoin) Dihapus dan dilebur. Sedangkan Landraad (Tiho Hoin) menjadi Pengadilan Negeri, Raad van Justite (Koto Hoin) menjadi Pengadilan Tinggi, dan Hooggerechtshof (Saiko Hoin) menjadi Mahkamah Agung.

 

Berdasarkan UU No.4 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 14 Tahun  1985 Tentang Mahkamah Agung dalam Pasal satu menyatakan bahwa :

 

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

 

Dan Pasal 2 menyatakan bahwa :

“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus