28 Februari, 2009

SINOPSIS PRANATA HUKUM: Sebuah Telaah Sosiologi hukum

SINOPSIS

PRANATA HUKUM

(Sebuah Telaah Sosiologis)

PROF. DR.ESMI WARASSIH,S.H. M.S.

BAGIAN I

CITA HUKUM

Disusun Oleh: GUNAWAN,S.H.

 

  1. Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya

 

Pengertian Hukum

Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama; keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Namun demikian, hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komperhensif. Demikian pula Mr. Dr. Kisch mengatakan bahwa oleh karena hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh panca inder, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yangb memuaskan umum.

Sekalipun demikian, pengertian hukum perlu dikemukakan di sini sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya. Pengertian yang mungkin diberikan pada hukum adalah sebagai berikut :

1)       Hukum dalam arti ilmu;

2)       Hukum dalam arti disiplin atau system ajaran tentang kenyataan;

3)       Hukum dalam arti kaedah atau norma;

4)       Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis;

5)       Hukum dalam arti keputusan pejabat;

6)       Hukum dalam arti petugas;

7)       Hukum dalam arti proses pemerintahan;

8)       Hukum dalam arti perilaku yang teratur;

9)       Hukum dalam arti jalinan nilai.

Selain pengertian tersebut di atas dapatlah dikemukakan beberapa pendapat para ahli. Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya. Demikian pula Soediman mendefinisikan hukum sebagai pikiran atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.

Beberapa pengertian hukum sebagaimana terurai di atas menunjukkan pada kita bahwa hukum memiliki banyak dimensi yang sulit untuk disatukan, mengingat masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) pengertian dasar : Pertam, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis.

Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pusat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang biasa kita bicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normatif-analitis.

Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana/alat untuk mengatur masyarakat, maka metode yang dipergunkan adalah metoda sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkrit dalam masyarakat.

Pertama, Teori Etis yang mengajukan tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Dengan perkataan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny. Keprihatinan mendasar dari teori etis ini terfokus pada dua pertanyaan tentang keadilan itu, yakni (1) menyangkut hakikat keadilan,dan (2) menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.

Kedua, Teori Utilitas. Penganut teori ini, anatara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.

Ketiga, Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di samping ketertiban, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat dan zamannya).

 

Fungsi-fungsi Hukum

Manusia di dalam hidupnya selalu mempunyai kebuthan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan yang hendak dipenuhinya. Namun, tidak semua manusia mempunyai kebutuhan atau kepentingan yang sama, melainkan kadang berbeda, dan bahkan tidak jarang pula bertentangan satu sama lain. Di lain pihak disadari pula bahwa terpenuhinya suatu kebutuhan manusia amat tergantung pada manusia lainnya. Bahkan, pemenuhan kebutuhan manusia dapat diselenggarakan di dalam masyarakat yang tetib dan aman.

Oleh sebab itu, Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :

1)       Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menujukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;

2)       Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sankinya yang tepat dan efektif;

3)       Menyelesaikan sengketa;

4)       Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.

 

Hukum Sebagai Suatu Sistem Norma

Apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu system, yaitu sebagai sistem norma. Pemahaman yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu system yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya. Pengertian system sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain Bertalanffy, Kenncth Building, ternyata mengundang implikasi yang sangat berarti terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek : (1) keintegrasian, (2) keteraturan, (3) keutuhan, (4) keteror-ganisasian, (5) keterhubungan komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan komponen satu sama lain. Shrode dan Voich menambahkan pula bahwa selain syarat sebagaimana tersebut di atas, sistem itu juga harus berorientasi kepada tujuan.

Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu system, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Berbagai pengertian hukum sebagai sistem hukum dikemukakan antara lain oleh Lawrence M Friedman, bahwa hukum itu merupakan  gabungan antara komponen struktur, substansi, dan kultur.

1)       Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya system tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana system hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

2)       Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum,berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

3)       Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan anatara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.

Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara internal legal culture yaitu kultur hukum para  lawyers and judges, dan external legal culture yaitu kultur hukum masyarakat luas.

Selain itu,  Lon L. Fuller juga berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principles of legality berikut ini :

1)       Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;

2)       Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;

3)       Peraturan tidak boleh berlaku surut;

4)       Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;

5)       Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;

6)       Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

7)       Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah;

8)       Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Selanjutnya, apabila kita mulai bicara tentang hukum sebagai suatu sistem norma, Hans Kalsen berpendapat bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.

Hans Kalsen menamakan norma tetinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar), dan Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem norma, maka Kalsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis, sedangkan sumber yang mengandung penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannya bersifat meta-yuridis.

 

  1. Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis

Memahami Hukum sebagai Sistem

Kebutuhan akan hal-hal tersebut di muka, mengisyaratkan kepada kita akan perlunya pendekatan system dalam hukum. Menurut Ludwig Von Bertalanfy, sistem adalah complexes of elements standing interaction; a system is a set of elements standing interrelation among themselves and with the environtment. Secara lebih umum Shrode and Voich mendefinisikan sistem sebagai a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole, within a complex environtment.

Definisi-definisi system tersebut menekankan kepada beberapa hal berikut ini:

1)       System itu berorientasi kepada tujuan (Purpose behavior the system is objective oriented).

2)       Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari jumlah-jumlahnya (Holism the whole is more than the sum of all the parts).

3)       Suatu system berinteraksi dengan system yang lebih besar, yaitu lingkungan (Openness the system interacts with a larger system, namely its environment).

4)       Bekerjanya bagian-bagian dari system itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformation the working of the parts creates something of value).

5)       Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Interrelatedness the various parts must fit together).

6)       Ada kekuatan pemersatu yang mengikat system itu (Control mechanism there is a unifying force that olds the system together)42.

 

Cita Hukum : Kunci Pembentukan Hukum

Penjelasan Umum UUD 1945 secara tegas menggariskan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan adalah mewujudkan “cita hukum” (Rechtsidee), yang tidak lain adalah “Pancasila”. Istilah cita hukum (Rechtsidee) perlu dibedakan dari konsep (Rechtsbegriff), karena cita hukum ada di dalam cita bangsa Indonesia, baik berupa gagasan, rasa, cipta, dan pikiran. Sedangkan, hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dan bertujuan untuk mengabdi kepada nilai-nilai tersebut.

Cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Demikian pula Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat hukum beraliran Neo-Kantian sama seperti Rudolf Stammler, berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum, maka produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan maknanya.

 

Model Pembentukan Hukum yang Demokratis

Sebagai bangsa yamg telah merdeka selama lebih dari setengan abad sadar atau tidak sadar  Indonesia belum memiliki system hukum ideal yang sesuai dengan cita dan tujuan pendirian negara ini, yakni system hukum Pancasila. Oleh karena itu, kita perlu menempatkan masalah yang sedang dihadapi bangasa ini dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks pemahaman secara sosiologis maupun politis sekaligus. Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio-politis secara final. Di sanalah kita akan dapat memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui suatu proses yang menbutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya dapat diprediksikan, seperti apa norma yang akan lahir ketika peraturan itu dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum tersebut.

Pertama, secara makro proses penyusunan suatu produk hukum (peraturan) dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Dalam konteks sosiologis, factor masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial. Namun demikian, suatu permasalahan baru akan menjadi permasalahan kebijaksanaan (policy problem) bila problem-problem itu dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problem-problem itu.

Apabila problem yang timbul tersebut dapat dimasukkan dalam agenda pemerintah atau sebagai policy problems, maka perbincangan itu akan memasuki tahapan kedua yang disebut tahapan politis. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi dan kemudian merumuskan lebih lanjut. Di sini, seluruh ide atau gagasan yang berhasil diidentifikasi dalam proses sosiologis itu dipertajam lebih lanjut dalam wacana yang lebih kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Setelah tahapan sosiologis dan politis dilalui, barulah proses pembuatan hukum memasuki tahapan terakhir (ketiga) yang disebut “tahapan yuridis”. Pada tahapan ini lebih memfokuskan diri pada masalah penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah diatur ke dalam rumusan-rumusan hukum. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pengorganisasian dan penyusunan rumusan-rumusan hukum itu antara lain aspek consistency, sound arrangement dan normal usage.  Proses yang tejadi pada tahapan yuridis ini pun tidak bebas nilai melainkan selalu dalam kungkungan subsistem-subsistem non-yuridis, seperti social, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.

 

  1. Pergeseran Paradigma Hukum Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral

Dinamika Pembangunan di Indonesia

Pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan akan berhasil bila didukung oleh stabilitas politik. Oleh karena itu, menurut Alfian, format baru politik yang dipakai agar dapat menjamin stabilitas adalah dengan membangun lembaga eksekutif yang kuat. Lahirnya Undang-undang No. 15 dan Undang-undang No. 16 Tahun 1969 masing-masing tentang Pemilu dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD pada masa awal Orde Baru merupakan sebagian dari instrumen hukum yang dibuat untuk mendukung pencipta lembaga eksekutif yang kuat. Hal ini dapat dicermati dari adanya kemungkinan masuknya “tangan” eksekutif di lembaga legislative melalui kewenangan pengangkatan atas sebagian anggota lembaga perwakilan rakyat serta penetapan lembaga recall bagi anggota DPR/MPR.

Dalam perjalanan sejarah, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran beberapa hal mendasar dalam pembangunan. Pertama, strategi dan implementasi pembangunan dengan model pertumbuhan, ternyata membawa implikasi yang terlalu jauh, tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang pemisah antara strata social dan antar daerah, kehancuran sektor-sektor usaha kecil termasuk sector industri rumah tangga dan sektor informal. Dampak lainnya ialah bertambahnya pengangguran absolut dan terselubung, membengkaknya hutang Negara, terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dan pertumbuhan itu sendiri bersifat semu.

Kedua, tumbuh dan berkembangnya rejim-rejim yang represif, yang menurut Herbert Feith disebut sebagai Repressive-Developmentalist Regimes, yang cenderung korup atau berkembangnya korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme; hapusnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, bahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan perampasan hak-hak rakyat semakin mengemuka.

 

Paradigma Kekuasaan dan Tatanan Hukum

Uraian terdahulu sekaligus menunjukkan bahwa pembangunan hukum pada masa ORBA sangat sarat dengan paradigma kekuasaan. Hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan menghadirkan hukum yang tidak demokratis, yaitu system hukum yang totaliter. System hukum seperti itu memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1)       System hukumnya terdiri dari peraturan yang mengikat yang isinya berubah-ubah tegantung putusan penguasa yang dibuat secara arbitrer.

2)       Dengan teknikalitas tertentu, hukum dipakai sebagai “kedok” untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara arbiter. Hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu dan menurunkan derajat manusia.

3)       Penerimaan social terhadap hukum didasarkan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia.

4)       Sanksi-sanksi hukum mengandung pengrusakan (disintegration) terhadap ikatan-ikatan social serta menciptakan suatu suasana nihilisme social yang menyebar.

5)       Tujuan akhirnya adalah suatu legitimasi institusional, terlepas dari seberapa besar diterima oleh masyarakat.

 

Kualitas hukum kita menjadi hukum otoriter dengan memperlihatkan ciri-ciri otoritarian antara lain sebagai berikut :

1)       Kaidah dasar otoliter

Kaidah dasar dari system hukum totalitarian adalah tidak lain berupa rumusan pikiran totaliter yang diselundupkan ke dalam kaidah dasar tersebut yang pada gilirannya akan menjadi landasan bagi kaidah/peraturan lain yang dikeluarkan. Untuk menciptakan keberhasilan dari kerja tatanan yang demikian itu diciptakanlah kelompok “intelektual” yang ditugasi untuk mengerjakan sekalian transformasi kepada orde totalitarian. Langkah itu bisa dilakukan melalui pembuatan kaidah hukum baru atau melalui penafsiaran kembali terhadap kaidah-kaidah yang lama.

2)       Kaidah dasar di atas konstitusi

Supremasi dari kaidah dasar atas konstitusi. Dalam orde totalitarian, konstitusi diberikan kepada rakyat sebagai suatu dokumen nasional penting, tetapi sebenarnya sekadar sebagai “pemanis bibir” (façade document) belaka. Di belakangnya tercatat kaidah dasar yang totalitarian. Eksistensi konstitusi hanya ingin membuktikan, bahwa warga negara sudah menikmati hak-hak dan perlindungan-perlindungan hukum, padahal sesungguhnya hanya bersifat kosmetis belaka.

3)       Hukum yang membudak

Watak membudak dari hukum (servility). System social totalitarian tidak memberikan tempat mandiri kepada hukum atau dibiarkan tergantung. Dalam system seperti itu, hukum hanya sah apabila dianggap mendapatkan pengesahan dari kaidah yang lebih tinggi, yang tidak bersifat hukum (legal) tetapi politik. Kaidah politik yang lebih tinggi itulah yang secara pasti memberikan pengesahan terhadap hukum.

4)       Birokrasi Totalitarian

Dalam kultur birkrasi yang demikian itu terjadi pembatasan-pembatasan yang sangat jauh, meliputi semuanya, yang memberi alasan rasional untuk penolakan tehadap pendekatan yang tak memihak (impersonal). Birokrasi dalam system hukum totalitarian membudak kepada dan bekerja untuk elit yang berkuasa.

5)       Trias Politika pro-forma

Penekanan terhadap dan oleh system peradilan. System totalitarian mengakui pembagian antara legislative, eksekutif dan peradilan secara proforma. Dalam keadaan demikian, maka peradilan merupakan pihak yang paling menjadi korban. Pengadilan tidak memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili secara benar, melainkan hanya menjadi sarana yang dipakai untuk menekan warga negara.

6)       Kepatuhan terpaksa

System totalitarian didasarkan pada suatu legitimasi yang diberi nama dead-end legitimacy. Di sini warga negara menerima hukum dan mentolerir tindakan pemerintah, oleh karena mereka tidak melihat pilihan lain. Mereka menerima hukum, sekalipun opresif, oleh karena itu lebih baik daripada tidak ada hukum sama sekali. Legitimasi tersebut di atas berbeda dari natural legitimacy, oleh karena di sini tidak diperlukan bantuan kekuatan untuk menekan rakyat. Hukum diterima masyarakat berdasarkan hakikatnya, bukan karena ada kekuatan di belakangnya.

7)       Tipe rekayasa merusak

Rekayasa, seperti dipikirkan Roscoe Pound yang dikenal sebagai social engineering by law, adalah tindakan rasional biasa. Berbeda dengan tipe tersebut maka dark social engineering adalah penggunaan teknik-sosial (social harm) yang luas di masyarakat.

 

Remofmasi dan Pergeseran Paradigma Hukum

Menyadari akan segala kelemahan penataan hukum pada masa lalu, maka agenda pertama dan terpenting adalah mengembalikan atau memulihkan otentisitas hukum. Langkah ini penting dilakukan, karena hukum saat ini menjadi sangat terhambat dalam usahanya untuk mengatur dan memberikan perlindungan dan keadilan. Oleh karena itu, sebelum melakukan penataan hukum di negeri ini lebih jauh, perlu dipahami secara lebih cermat tujuan kehadiran hukum bagi masyarakat. Menurut Beccarian sebagaimana dikutip oleh Rostow (1971), bahwa hukum itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang (to provide the greatest happiness devided among the greatest number). Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum itu telah dirumuskan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut :

“………Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social…….”

Bertolak dari pemahaman di atas, maka menurut para ahli filsafat pencerahan, tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi criteria berikut ini. Pertama, hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional. Dan, hukum yang rasional itu adalah hukum yang benar-benar mampu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan social dimana ia memang diperlukan. Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, ia harus didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksaan hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh sosial struktur masyarakat, karena disitu hukum seharusnya mewujudkan tujuan-tujuannya.  

 

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus