02 Maret, 2009

Perspektif Hukum, HAM dan Demokrasi

 

 

REFORMASI HUKUM DI PERSIMPANGAN:

MAMPUKAH MEWUJUDKAN INDONESIA YANG PATUH HUKUM'

Oleh

Harkristuti Harkrisnowo

 

 

PENDAHULUAN

Tiada seorangpun yang tidak terluka, marah, kecewa, tak berdaya dan seonggok perasaan negatif lainnya pada saat ini jika membaca, melihat dan mendengar pemberitaan yang disampaikan oleh media massa tentang berbagai bentuk ketidak patuhan hukum.  Mulai dari kasus-kasus yang kecil seperti pemerasan di terminal bisa menjelang orang 'mudik," sampai dengan penghakiman massa yang menelan korban jiwa, mulai dari kenakalan anak-anak sampai dengan kekeiaman orang dewasa seper-ti pada berbagai kasus pemboman, mulai dari pencurian di toko shoplifting) sampai dengan korupsi trilyunan rupiah oleh pejabat Negara..

Siapa pernah menduga bahwa berbagai bentuk kejahatan tersebut terjadi di Indonesia yang, katanya, terkenal sebagai bangsa yang penuh cinta kasih dan gemah ripah loh jinawi?  Indonesia, telah tumpah ruah dengan berbagai tindak kerusuhan, baik di kota besar maupun kota kecil, baik yang berskala besar maupun kecil.  Tiada pula seorang yang sanggup mengelak bahwa magnitude dari konflikkonflik yang terjadi beberapa tahun lalu di Sambas, Maluku Utara dan Ambon, Sampit dan Palangkaraya merupakan the worst spots of social conflicts apabila dilihat dari kehancuran dan kemusnahan yang diakibatkannya.  Sebagai salah satu dampaknya, vigilante justice seakan merebak bagai jamur di musim hujan.  Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa pelanggaran hukum ternyata bukan hanya dilakukan oleh masyarakat belaka, tetapi juga oleh pejabat negara dan penegak hukum.

Laporan-laporan media massa dengan nyata menunjukkan betapa telah merambahnya kasus-kasus yang menunjukkan bahwa masyarakat makin berani dalam menghakimi pihak yang mereka tuduh bersalah, dan langsung menjatuhkan vonnis dan melaksanakan eksekusi.  Ketakutan masyarakat akan keamanan diri dan lingkungannya akhir-akhir ini, oleh karenanya, sangat layak dipahami oleh karena terjadinya berbagai manifestasi konflik yang begitu mendalamnya, yang menimbulkan kegelisahan, kegeraman, kebencian, duka cita, kekhawatiran dan ketidaktenteraman masyarakat.  Betapa tidak, korban yang berjatuhan sudah sangat banyak; bukan hanya harta benda, tapi juga nyawa, yang seakan tidak ada artinya.  Lebih menyedihkan lagi, karena periistiwa macam ini ternyata tidak hanya terjadi baik di wilayah urban tapi juga wilayah rural yang selama ini dianggap aman dan damai belaka.

Dimanakah hukum ketika itu?  Tidakkah ia berfungsi antara lain sebagai guardian of the social order, seperti dikatakan oleh sebagai Radcliffe-Brown (1954), bahwa hukum tama maknanya dengan '...the maintenance or establishment of social order, within a territorial framework, by the exercise of coercive authority, through the use, or the possibility of use, of physical force..." . Bukankah hukum memiliki fungsi sebagai a) sarana pengendalian social, b) sarana penyelesaian sengketa, dan c) sarana rekayasa social ? terlalu sulit untuk mencari yustifikasi dan evidensi yang menunjukkan bahwa hukum di Indonesia telah memenuhi sebagi'an dari fungsi-sungsi tersebut.  Mengapa?

Berbagai pendapat mengenai muncul faktor korelatif dan kausatif terhadap tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang makin meningkat baik kuantita, kualita maupun modus operandinya.  Namun agaknnya tidak mudah untuk mencari satu kausa yang sahih untuk menjelaskan semua bentuk pelecehan hukum di Negara yang dulu dikenal dengan kartakteristik gemarh ripah loh jinawi.  Namun disepakati antar para pemerhati, bahwasanya lebih sederhana bila kita mencari common denominators dari faktor-faktor yang berkaitan dengan fenomenon ini --daripada mencari kausanya-- antara lain:

·     Kondisi sosial politik yang tidak menentu

·     Tingginya tingkat kesenjangan ekonomi

·     Tingginya tingkat KKN

·     Kelemahan proses penerapan hukum yang mengakibatkan rasa ketidakadilan (inkonsisten, diskriminatif, rentan akan intervensi, serta kurangnya profesionalisme & integritas)

·     Mispersepsi akan makna demokrasi

·     Belum diterapkannya prinsip-prinsip good governance dan kelemahan manajemen dalam penyelenggara kekuasaan negara

·     Tingginya Konflik sosial yang belum terselesaikan

·     Kelangkaan pemimpin yang mampu mandegani, mengayomi dan mengayemi

·     Kelemahan manajemen (hukum, personel dan operasional)

·     Tingkat pendidikan masyarakat belum merata

·     Penentuan kebijakan publik yang belum obyektif dan transparan

·     Rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan

·     Elit politik yang kurang menaruh perhatian pada problema rakyat.

 

Deretan masalah di atas makin diperburuk dengan kondisi lokal, utamanya yang berkenaan dengan penanganan kasus yang tidak segera dilakukan dan adanya ketidak pastian.  Sebagai akibatnya, timbul "masalah yang tersisa" bagi masyarakat setempat yang dapat menjadi contoh bagi anggota komunitas lain untuk melakukan hal yang sama, karena ternyata konsekuensi hukumnya tidak menurut mereka tidak jelas.

Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi dewasa ini merupakan kulminasi ketiadaan keadilan, the absence of justice yang dipersepsi masyarakat.  Dalam bahasa yang lain hal 'ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (disregardling the law), ketidak hormatan pada hukum (disrespecting the law ), ketidak percayaan pada hukum (distrusting the law), serta dalam beberapa hal, penyalahgunaan hukum (misuse of the law) yang selama ini terjadi oleh pihak-pihak yang berkuasa atau mempunyai akses pada kekuasaan.  Hukum yang dimaksud disini bukan sekedar aturan untuk acuan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat untuk mencapai keadilan sosial), tapi juga termasuk:

1 .  Proses pembentukan hukum yang lebih banyak merupakan ajang powergame yang mengacu pada kepentingan the powerful daripada the needy sangat sulit untuk diingkari.

2.   Proses penerapan hukum, baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif (tingkat atas, menengah maupun bawah) dan yudikatif dalam tugasnya melaksanakan hukum, sangat banyak dituding sebagai cerminan merosotnya kewibawaan hukum, dengan menonjoinya nuansa non-hukum (i.e. politik dan kekuasaan) daripada hukum (misainya lembaga yang kurang independen dan imparsial, penegakan hukum yang inkonsisten dan diskriminatif; intervensi kekuasaan terhadap hukum yang sulit dilacak dan dibuktikan, apalagi diproses;.

3.   Penegak hukum yang lemah integritas, pemahaman, koritrol dilinya, yang disepakati harus diubah.  Namun mengubah sistem dan muatan hukum jauh lebih mudah daripada mengubah sikap dan perilaku manusia, dan perubahan substantif menjadi tidak berarti apabila terjadi stagnasi dalam penegaknya sendiri.

 

Keterkaitan dan saling pengaruh antara faktor-faktor ini merupakan masalah yang utama yang menyebabkan buruknya persepsi masyarakat (nasional dan internasional) atas hukum di Indonesia, yang erat kaitannya dengan terciptanya budaya hukum atau legal culture, atau "a set of social traditions, attitudes and expectations concerning the law, a legal profession and an independent judiciary, together with a respect for these, and internalization of law-abidingness and of legal attitudes, procedures and ways of looking at things..."3 Muatan budaya hukum, dengan demikian, lebih terpaut pada law in action daripada law in the books.  Peranan dan fungsi hukum sebagaimana dipersepsi masyarakat ini mungkin saja (sangat) jauh berbeda dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan.  Disebut budaya hukum karena persepsi ini lalu dimanifestasikan meialui sikap dan perilaku mereka dalam transaksi-transaki yang bersentuhan dengan hukum.

Dapat dilihat misainya, pelanggaran hukum yang "diselesaikan" meialui transaksi warga masyarakat dengan penegak hukum, baik meialui proses (semu) hukum maupun di luar proses hukum (tapi dengan akibat hukum), menunjukkan bahwa hukum telah dianggap sebagai suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan.  Kenyataan seringkaii menunjukkan bahwa hukum hanya dipergunakan sebagai instrumen untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pembuat keputusan.  Maka, penyelesaian konflik cenderung untuk tidak dilakukan meialui hukum karena masyarakat yang tidak mempercayai bahwa pranata hukum yang ada mampu untuk menyelesaikan konflik mereka berdasarkan keadilan.

Mudah ditengarai pada awal proses "pergeseran kekuasaan" yang kemudian dikenal dengan (atau atas-) nama "reformasi" ]alu, nampak dengan jelas bahwa hukum teiah diabaikan bahkan dilecehkan dalam pelbagai bentuknya.  Aktor dalam

vigilante justice ini bukan hanya warga masyarakat (yang menjarah, membakar dil.) tapi juga penegak hukum (yang korupsi, menembak, menganiaya warga dll.). Sebagian pemerhati masalah sosial memandang pelanggaran hukum warga masyarakat sebagai refleksi ketidak puasan atas past condition, yang dilampiaskan meialui retaliation atau lex talionis terhadap kelompok atau simbol-simbol yang dipersepsi sebagai representasi --dan dalam beberapa kasus bahkan substitusi-ketompok yang diuntungkan pada masa orde baru.

Jelaslah bahwasanya keetiadaan equality before the law yang dialami warga masyarakat kebanyakan vis a vis warga kelompok tertentu yang memiliki akses (langsung maupun tak langsung) pada kekuasaan, harus diakui, merupakan suatu fakta sosial yang sangat menyolok pada masa orde baru, dan nampaknya belum berubah secara signifikan sampai sekarang.  Kesadaran akan adanya konsistensi inequality semacam ini yang beriangsung dalam waktu beberapa dasawarsa, tidak dapat tidak, telah menanamkan benih-benih perasaan tertentu pada diri warga, baik disadari maupun tidak.

Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi, daripada bidang humanisme dan budaya, makin memperburuk keadaan.  Pengembangan limu Pengetahuan dan Teknologi, termasuk pendidikannya, menjadi primadona dalam agenda pemerintah.  Pengembangan sumber daya manusia -yang dari istilahnya saja sudah mengobjektifikasi manusialebih dititikberatkan pada penguasaan ilmu dan teknologi, daripada penghayatan nilai-nilai manusia Indonesia yang pernah dijumpai dalam kitab sejarah (yang welasasih, suka menolong -sambat sinambat, gugur gunung--, mengutamakan intimitas milainya mangan ora mangan kumpui--, jujur, menghormati orang tua, melu handarbeni).

Memang benar bahwa proses modernisasi yang terjadi pada akhirnya mengacu pada modernisasi di barat yang dipadati dengan nilai-nilai yang tentunya juga berorientasi ke Barat.  Sedikit banyak proses ini telah mengakibatkan erosi dan dekadensi pada pranata-pranata yang secara tradisionil telah menopang sendi-sendi kemasyarakatan.  Namun di pihak lain ternyata berkembang pula sejumiah nilai yang kemudian menjadi "salah kaprah" karena diinterpretasikan selaras dengan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.  Sebagai contoh dapat dikemukakan asas "kekeluargaan," mikul dhuwur mendem jero, harmoni dan keseimbangan, yang dalam konsepnya yang orisinil tidak dimaksudkan untuk melegitimasi perilaku

menyimpang yang dilakukan salah satu anggota "in-group," atau menampilkan kebersamaan yang semulsuperficial.  Lebih parah lagi adalah bila redefinisi tersebut dilegalisasikan meialui ketentuan hukum atau kebijakan yang secara yuridis sah, walaupun secara sosiologis maupun fiiosofis masih layak dipertanyakan.

Secara ringkas, semua tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dengan mudah dapat dikonstruksi pada tindak pelanggaran terhadap hukum pidana, yang sebenarnya mengandung sanksi pidana yang tidak ringan.  Namun reaksi aparat atas kerusuhan ini juga tidak seragam, ada yang dengan segera memprosesnya, namun ada pula petinggi hukum yang menyatakan "sulit untuk mendeteksi, apalagi membawa kasusnya ke meja pengadilan." Pembiaran semacam ini, mudah diduga, menimbulkan encouragement baqi calon-calon penjahat (potential criminals) di bidang lain untuk bergerak.  Sayang sekaii

Dewasa ini nampaknya kerapuhan pranata-pranata yang menopang eksistensi masyarakat menjadi tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangan (yang mungkin semu) yang ada.  Mudah difahami bile ini semua merupakan refieksi dari pengabaian supremasi hukum yang berkeadilan yang telah membuahkan kepahitan bagi seluruh rakyat Indonesia

 

 

MEWUJUDKAN BANGSA INDONESIA YANG PATUH HUKUM:

MUNGKINKAH MELALUI PRANATA HUKUM SEMATA?

 

Apabila ditanyakan apakah hukum mampu mengatasi fenomenon ketidakpatuhan masyarakat dan para penyeienggara kekuasaan Negara -termasuk partai-partai politik -- pada hukum secara komprehensif, jawabnya sudah jelas: TIDAK.  Hal ini dikarenakan oleh kompleksitas permasalahan yang berkorelasi dengan periatiwa-peristiwa tersebut, sebagaimana diuraikan di atas.  Mungkin yang paling sulit pada masa ini adalah mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintah, mempercayai hukum, dan pada akhirnya mentaati hukum.

Tidak hendak disini diurai 'mengapa manusia pribadi melakukan pelanggaran hukum," karena uraiannya akan sangat panjang terutama jika ditinjau dari kriminologi.  Namun patut dicatat bahwa dalam teori kriminologi yang bersifat mikro, umumnya dua kelompok besar factor yang dapat mempengaruhi manusia dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan pelanggaran hukum, yakni:

1.   Faktor Internal:

Persepsi tentang hukum (sbg aturan berperilaku, kewajiban, paksaan adil.) Pengalaman (manis, pahit & hambar) tentang hukum termasuk pengalaman viktimisasi

Cost & benefit analysis (# finansial)

 

2.   Eksternal:

Citra & kinerja lembaga publik;

Kondisi masyarakat

Kontrol sosial oleh lingkungan (approvalldisapprovallindifference)

 

Namun pada dasarnya, menyususn strategi agar masyarakat dan pejabat menjadi patuh hukum tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan mendasar: mengapa orang patuh hukum?  Terhadap pertanyaan ini, Tom R. Tyler pernah mengemukakan two theories of compliance with the laW.4

1   Perspektif instrumental pada dasrnya mengetengahkan bahwa manusia membentuk perilakunya untuk menanggapi (respons) stimulus yang ada (dan berubah-ubah )

2.  Perspektif normatif mengungkapkan bahwa manusia mematuhi hukum karena hukum tersebut dianggapnya adil dan sesuai dengan morainya mengani baik dan buruk.  Kepatuhan ini juga dilandasi pemikiran individu yang mentganggap penguasa penegak hokum berwenang untuk menentukan tindakan yang taat hukum.

Masalahnya menjadi semakin rumit, karena pada saat ini persepsi publik tentang hukum memang sudah sangat buruk, yangmemandang hukum sebagai bukansaja alat pemegang kekuasaan, akan tetapi juga sebagai komoditi.  Secara ringkas dapat dikatakan bahwa membangun masyarakat yang peduli & taat hukum menuntut khususnya:

·     Teladan meialui good & law abiding behavior para pemimpin dan tokoh;

·     political will dari para pembuat keputusan untuk meletakkan hukum sebagai panglima;

·     Adanya grand design bagi reformasi hukum (yangkini begitu terkotak-kotak dan terfragmentasi);

·     Upaya yang terkoordinasi & sinergistik antar lembaga

·     Diciptakannya educated & informed public

·     Lembaga dan aparat yang professional, accountable dan memiliki integritas tinggi yangberpotensi meningkatkan access tojustice bagi publik

·     Membuka partisipasi publik

 

Dalam mendorong proses lmplementasi hukum, harus pula dijamin dan dipastikan bahwasanya proses ini:

·     Dilakukan berdasar due process of law (proceduraljustice)

·     Penetapan kewenangan diskresioner yang tegas yang diterapkan untuk the best interest of the society

·     Mempertimbangkan faktor-faktor non hukum yang relevan

 

 

PADA AKHIRNYA....

 

Beberapa upaya dapat diusulkan, untuk memecahkan keberadaan penyimpangan yang terjadidalam upaya melakukanreformasi hukum; namun harus tetap diingat bahwa pemberdayaan hukum belaka untuk mengatasi hal tersebut tidak mungkin berhasil tanpa didampingi oleh penataan kembali sistem politik dan ekonomi.  Upaya-upaya yang berkenaan dengan hukum misainya:

1.      Perumusan kembali hukum yang demokratis dan berkeadilan

Bahwasanya hukum di masa lalu (entah masa sekarang) telah menjadi Tools of The Rulers telah disadari bersama.  Oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah mengkaji kembali aturan-aturan yang ada dan melakukan revokasi (penarikan kembali), revisi (pengubahan) serta pemberiakuan ketentuan baru yang diperlukan.  Kewajiban ini bukan hanya diletakkan pada lembaga legislatif, tapi juga lembaga eksekutif yang pada dasanya lebih banyak mengeluarkan peraturan implementatif.  Budaya, kebutuhan dan potensi lokal haruslah mendapat perhatian yang jauh lebih besar daripada kepentingan pusat dalam rangka otonomi daerah.

 

2.      Peningkatan penegakan hukum

a.  Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum. Upaya kepolisian ini harus pula ditunjang oleh aparat penegak hukum lainnya Oaksa, hakim) agar perkara dituntaskan, dan tidak floating atau bahkan freezing, yang mencerminkan tidak berdayanya hukum.  Mengingat perilaku pelanaggaran hukum merupakan imbas dari serangkaian peristiwa yang bersangkutan dengan hukum di masa lalu.  Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, tindakan penegak hukum yang tidak diskriminatif dan menunjang equality before the law, bukan hanya terjadi penjahat jalanan, tapi juga penjahat "gedongan," (mantan) pejabat bahkan mantan presiden dan keluarganya.  Persepsi masyarakat akan keberpihakan (penegak) hukum pada kelompok tertentu hanya akan memperparah keadaan sekarang ini, karena sekelompok orang mungkin berjustifikasi "ikan besar saja dibiarkan liwat, apalagi teri-teri seperti kami."

b.   Harus ditekankan agar tidak terjadi lagi "pembiaran" atas pelanggaranpeianggaran hukum (mungkin karena polisi merasa "maju kena mundur kena").  Upaya proaktif dan reaktif yang dilakukan tidak dapat, karenanya, harus bersifat locus-specific berdasarkan social mapping yang telah dilakukan.  Para pengambil keputusan dalam bidang penegakan hukum pun harus menyadari bahwasanya tidak mungkin menerapkan strategi yang sama untuk semua wilayah di Indonesia.  Semua ini tidak mungkin pula dilakukan tanpa upaya untuk meningkatkan kinerja Poiri, utamanya dalam supporting equipments, karena keterbatasan sarana dan prasarana mempunyai dampak yang cukup signifikan dalam produktivitas mereka.

c.   Penyelesaian secara yuridis belaka seringkaii tidak berperan banyak apabila pranata hukum tidak dianggap lagi sebagai satu mekanisme penyelesaian sengketa yang impartial and fair.  Pemberdayaan hukum untuk menyelesaikan dan mencegah vigilantejustice tidak dapat berjalan seorang diri, namun harus didampingi dengan upaya-upaya sosial lainnya. Upaya utama adalah membuat rakyat --terutama mereka yang terlibat dalam vigilante justice -untuk mempercayai bahwa pranata hukum (baik substansi maupun apart penerapnya) mempunyai kontribusi dalam menyelesaikan masalah mereka.  Komitmen pemerintah untuk memberdayakan hukum melalui pencanangan supremasi hukum yang berkeadilan tidak lagi dapat terjadi sebatas retorika saja, akan tetapi sudah mulai harus dilaksanakan meialui action plan yang lugas dan aspirataif.  Namun tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam hal ini, tidak akan hukum dapat berperan banyak.

 

3.      Pengikut sertaan rakyat dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan (demokratisasi)

Upaya ini dimaksudkan agar rakyat ditempatkan sebagai subyek, bukan obyek untuk diatur, agar menimbulkan sense of belonging mereka dalam kehidupan bernegara.  Tanpa adanya partisipasi publik akan sangat sulit bagi masyarakat untuk melihat kesungguhan pemerintah dalam penyelenggaraan tugasnya yang benar-benar menyarakan kepentingan mereka.  Ketidak jelas dan ketidak transaparanan proses pengambilan keputusan membuat masyarakat mempertanyakan: apakah kepentingan mereka diprioritaskan ?

 

4.      Penerapan konsep Good Govemance

Konsep ini berkenaan dengan: a) legitimasi pemerintah (tingkat demokratisasi) b) akuntabilitas pemerintah (pembuatan keputusan yang transparan, mekanisme pertanggungjawaban pemerintah dan kebebasan pers), c) kompetensi pemerintah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan; dan d) penghormatan pemerintah pada HAM dan rule of law (perlindungan atas hak individu dan kelompok, kerangka kegiatan ekonomi dan sosial, serta partisipasi publik).

 

 

PERUBAHAN KONSTITUSI DAN PROSPEKNYA:

TENTANG DASAR HUKUM KEUANGAN NEGARA INDONESIA

 

Oleh: GUNAWAN,S.H.

Pengantar

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah atau dasar.


Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional.


Sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar. Perubahan tersebut merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999 hingga 2002. Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.


Dalam perspektif sejarah, UUD 1945 sebenarnya memang dimaksudkan untuk bersifat sementara. Hal ini telah ditegaskan secara implisit di dalam Aturan Tambahan UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: (1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD ini; (2) Dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD. Walaupun ketentuan tersebut kemudian tidak terlaksana, namun penegasan bahwa MPR, yang seharusnya telah dibentuk selambat-lambatnya enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya harus bersidang untuk menetapkan UUD dalam enam bulan sesudah ia dibentuk, menegaskan secara implisit bahwa UUD 1945 adalah bersifat sementara.

 

Dalam perspektif hukum teori hukum tata negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui pola Belanda, yakni dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan, dan pola Amerika Serikat (AS), yakni dalam bentuk amandemen yang dilampirkan pada Konstitusi AS. Perubahan-perubahan dimaksudkan agar UUD merupakan UUD yang hidup (a living constitution). Di Indonesia, wacana reformasi sistem ketatanegaraan, perubahan terhadap UUD 1945 berangkat dari tuntutan akan pentingnya pemerintahan konstitusional yang demokratis. Dalam hal ini, pemberlakuan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referandum merupakan “pemberlakuan kembali” Pasal 37 UUD 1945. Berdasarkan landasan itulah perubahan UUD 1945 dilakukan.

 

Di dalam perubahan ketiga ini antara lain diatur tentang hal-hal yang bersifat mendasar, seperti adanya penegasan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, juga penarikan ketentuan mengenai Indonesia sebagai negara hukum dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Disamping itu ditetapkan pula tentang kewenangan-kewenangan MPR, mekanisme putaran pertama sistem pemilihan Presiden secara langsung, mekanisme impeachment Presiden, tentang Dewan Perwakilan Daerah, tentang Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

 

 

Sejarah Hukum Keuangan Negara Berdasarkan UUD 1945

Pengaturan keuangan negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD1945 ) yang sangat singkat dan diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 23 bab VIII tentang “ Hak Keuangan”: menjadi titik awal ( starting point ) pengaturan hukum keuangan negara di Indonesia. Rumusnya yang sangat singkat tersebut dapat dipahami karena suasana kebatinan negara pada saat ini yang menginginkan segera terbentuknya Negara Republik Indonesia.

 

Akan tetapi, meskipun rumusnya sangat singkat dan suasana pembentukannya yang mendesak, tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosifis, yuridis, maupun historis,. Apalagi para penyusun undang-undang Dasar pada waktu itu, khususnya mengenai keuangan, benar-benar berdasarkan hati nurani demi kepentingan penyelenggaraan negara dan bangsa, tanpa mementingkan politik tertentu.

Dalam pasal 23 UUD 1945 ( pra-perubahan ), konsep keuangan negara memberikan pemahaman filosofis yang tinggi terhadap kedudukan keuangan negara yang ditentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan kata lain, hakikat public revenue  dan expenditure keuangan negara dalam APBN adalah kedaulatan.

Didalam pasal 23 ayat (1 ) UUD 1945 ditetapkan sebagai berikut.

Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-Undang. Apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.”

 

Pasal 23 ayat ( 1 ) UUD 1945 tersebut memiliki hak begtooting DPR, dimana dinyatakan dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Dengan demikian, secara filosofis-yuridis, ini tanda kedaulatan rakyat.

 

Dengan demikian, menurut konsepsi hukum keuangan negara, hakikat APBN adalah kedaulatan yang diberikan kepada DPR. Bukti adalah pemegang kedaulatan adalah rakyat melalui DPR adalah pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk undang-undang. Berdasarkan konsepsi hukum, karena DPR memegang kedaulatan dibidang budget ( hak begrooting ), persetujuan dari DPR terhadap APBN yang diusulkan oleh pemerintah ini merupakan kuasa ( machtiging ).

 

Dengan menyatakan APBN merupakan machtiging berarti tentu harus ada tanggung jawab yang selayaknya diberikan kepada yang memberikan machtiging. Dalam UUD 1945 machtiging diberikan DPR kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, pemerintah dalam pelaksanaan APBN harus mempertanggung jawabkan kepada DPR.

 

Dalam hal peretanggung jawaban keuanggan Negara ini, dapat dilihat dari dua pandangan, yaitu:

a.       pertanggung jawaban keuangan Negara horizontal, yaitu pertanggung jawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR. Hal ini disebabkan sistem ketatanegaraan yang berdasarkan UUD 1945 telah menentukan kedudukan pemerintah dan DPR sederajat. Hal ini dilakukan dalam bentuk persetujuan terhadap RUU perhitungan anggaran Negara.

b.      pertanggungjawaban keuangan negara vertikal, yaitu pertanggung jawaban keuangan yang dilakukan oleh setiap otorisator atau ordonator dari setiap Departemen atau Lembaga Negara non-departemen yang menguasai bagian anggaran, termasuk didalamnya pertanggung jawaban bendaharawan kepada atasannya dan pertanggungjawaban para pemimpin proyek. Pertanggung jawaban keuangan ini pada akhirnya disampekan kepada Presiden yang diwakili Mentri Keuangan selaku pejabat tertinggi pemegang tunggal keuangan Negara.

 

Berdasarkan konsepsi hukum keuangan Negara, pertanggung jawaban keuangan negara merupakan konsekuensi logis dari kesediaan pemerintah melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh DPR. Dalam tata pengelolaan keuangan negara atau APBN yang berlaku sampe dengan 2004 adalah pertanggungjawaban keuangan negara dituangkan dalam perhitungan Anggaran Negara atau Slot der rekening. APBN sebagai machtiging dari DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak menerima pertanggungjawaban keuangan negara adalah DPR. Secara teoritis, hal ini tidak bertentangan dengan sistem UUD1945 ( Pra-perubahan ) dimana kedaulatan sepenuhnya terletak pada MPR.

 

Perbandingan Landasan Hukum Keuangan Negara Pasca Perubahan UUD 1945

 

Pra Perubahan Ke- 3

Pasca Perubahan Ke-3

 

Pasal 23 ayat (1): 

Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.

 

 

Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3);

(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan Anggaran pendapatan dan belanja tahun lalu

 

 

Pasal 23 ayat (2);

Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.

 

Pasal 23A;                             

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang

Pasal 23 ayat (3);      

Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 23B;

Macam dan harga uang ditetapkan dengan undang-undang

Pasal 23 ayat (4);

Hal Keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang.

Pasal 23D;

Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang

            (Tidak diatur)

 

Pasal 23D;

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, dan tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang

Pasal 23 ayat (5);

Untuk memeriksa TANGGUNG JAWAB tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR.

 

Bab VIIIA

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 23E;

(1) Untuk memeriksa PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri.

Pasal 23E ayat (2)

Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya

Pasal 23E ayat (3)

Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.

Pasal 23F UUD 1945 Perubahan Ketiga

(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan Presiden.

(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota

Pasal 23G UUD 1945 Perubahan Ketiga

(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan pemeriksa keuangan diatur dengan undang-undang.

 

Pengertian Keuangan Negara

1.      Pengertian Keuangan Negara dalam Prespektif Undang-undang Keuangan Negara Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam ndang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara.

Pengertian keuangan negara dalam perspektif  Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1) yaitu:

”Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”

Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.      hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

  1. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
  2. Penerimaan negara;
  3. Pengeluaran negara;
  4. Penerimaan daerah;
  5. Pengeluaran daerah;
  6. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan negara;
  7. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaran tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum;
  8. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan.

·         Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengna pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

·         Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

·         Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.

·         Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut daitas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar.

Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:

  • akuntabilitas berorientasi hasil,
  • profesionalitas,
  • proporsionalitas,
  • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,
  • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan negara,pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.      Pengertian Keuangan Negara dalam Presoektif Undang-undang Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan yang diemban dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan  untuk dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya.

Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Istilah keuangan negara dalam undang-undang ini tercantum dalam pasal 2  yang berbunyi:

(ayat 1) ” Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ”

dan pasal 3 yang berbunyi:

” Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ” 

Dalam ayat di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu bahwa terdapat 3 pengertian yaitu kegiatan tindak pidana korupsi, pengertian keuangan negara dan perekonomian negara. Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa:

”keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a.  berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah;

b.  berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara.

Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum undang-undang no 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beralku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah:

  • setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
  • Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa undang-undang ini bermaksud mengantisipasi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.

Dalam rumusan di atas pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.

3.      Pengertian Keuangan Negara dalam Prespektif Arifin P.  Soeria Atmaja. 

Perkembangan hukum Indonesia ditandai oleh semakin meningkatnya perkara pidana khususnya pidana korupsi, yang diajukan ke pengadilan atas dasar adanya kerugian negara. Adanya perkembangan dalam penanganan dalam penanganan perkara pidana korupsi tidak terlepas pengetahuan pihak penuntut umum yang mendorong terciptnya suatu simpulan perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dalam lapangan hukum apapun, baik publik maupun privat pasti mengandung dugaan adanya kerugian negara.

Definisi keuangan negara dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap pasal 23 UUD 45 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara yaitu, penafsiran pertama adalah :

Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN sebagai sub sistem keuangan negara dalam arti sempit.

Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupkan pengawasan terhadap keuangan negara.

Sementara itu, penafsiran kedua adalah berkaitan dengan metode dan sistematik dan historis yang menyatakan:

Keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara.

Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara. Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak melakukan pungutan; hak  meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.

Penafsiran ketiga dilakukan melalui”pendekatan sistematik dan teleologis atas sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya”. Maksudnya adalah,

”Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan, dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit...... Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara  itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN , APBD , BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan.

Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun, penafsiran demikan akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandaling) maupun yang berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling).

Fungsi Pemeriksaan Keuangan Negara

 

Keberadaan BPK, dari sisi lain sebenarnya untuk meningkatkan kesadaran hukum pihak-pihak yang ada hubungannya dengan keuangan negara, sehingga menghormati asas rule of law. Artinya, keberadaan BPK bukan hanya tugas law enforcement, tetapi lebih dari itu yakni supaya kinerja aparatur yang mengelola dan bertanggungjawab atas keuangan negara benar-benar terwujud dengan baik.

Sesuai ketentuan, hasil pemeriksaan BPK, diserahkan kepada pihak legislatif. Kemudian, pihak legislatif segera menyimak hasil pemeriksaan BPK atas catatan atau rekomendasi yang diberikan BPK dalam hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab APBN dan/atau APBD.

Keingintahuan publik atas sesuatu yang terjadi atau public awareness dari hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan dan tanggungjawab dari realisasi APBN dan/atau APBD dalam sebuah negara hukum seperti di Indonesia, bukanlah sesuatu yang luar biasa.

UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.

Tolak ukur atas kerja profesional adalah kalau hasil pemeriksaan BPK memang tepat dan benar. Eksistensi BPK diharapkan dapat mengurangi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dari APBN dan/atau APBD, sehingga BPK dalam tugasnya juga melindungi (to protec) keuangan negara dan dari sisi lain BPK juga melayani (to serve) masyarakat yakni dengan sajian hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada pihak legislatif.

Kemunduran Tugas dan Fungsi BPK Pasca Amandemen ke-3 UUD 1945

Pasal 117 ayat (1) IS:

“Er is eene Algemeene Rekenkamer, belast met het toezicht over het beheer der landsgeldmiddelen en over de verantwoording der rekenplictigen “

 

(Dibentuk sebuah Algemeene Rekenkamer yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara (pre-audit) dan terhadap pertanggungjawaban (post-audit) perhitungan).

 

Bahwa materi muatan yang mengatur Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam perubahan UUD 1945, tidak lagi memilih tugas lembaga pengawas eksternal dan lemabaga pengawas internal pemerintah sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

 

Bahwa pasal 23E ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke-3 UUD 1945, jelas merupakan terjemahan pasal 117 ayat (1) UUD Hindia Belanda. Penetapan tersebut memperlihatkan kemunduran tugas dan fungsi BPK kembali ke 151 tahun yang lalu.

 

Bahwa UUD 1945 meligitimasi perubahan fungsi pemeriksaan BPK yang tidak hanya ditunjukan pada tanggung jawab keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Perubahan demikian jelas menciptakan disorientasi fungsi BPK yang melebar kesegala arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi hukum keuangan publik, disorietasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang terlalu luas akan melemahkan rentang kendali ( span of control ), inmodernisasi, penyalagunaan kewenangan, dan ketidak mampuan dalam mencegah penyimpangan keuangan negara secara efektif. Dis0erientasi pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi UUD 1945 hanya akan mendorong ketidakberdayagunaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawabkeuangan negara karena berkutat menjlajah segi teknis penglola keuangan negara.

 

Dengan demikian, tepat penyusun naskah asli pasal 23 UUD 1945 yang menempatkan BPK sebagai lembaga yang memriksa tanggung jawab keuangan negara agar orientasi BPK tidak lepas dan pemeriksaan yang bersifat makri-strategis. Penyusun naskah asli UUD 1945 mempunyai [pemahaman yang lebih strategis dan sangat memahami prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya sebagai pemriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga negara yang memriksa tanggung jawab keuangan negara. BPK merupakan lembaga yang langsung mengawasi dan memrisa kebijakan keuangan negara ( fiscal policy audit ) yang dilakukan pemerintah. Fungsinya yang sangat strategis dan terhormat tersebut menempatkan BPK sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga lainnya, termasuk pemerintah,untuk menjaga obyektifitasnya.

 

Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memriksa pengelolaan keuangan negara melalui pasal 23E ayat (1) UUD 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi negar, BPK telah berubah dari bentuk organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian, kedudukannya melemah sebagai bagian unsur pemerintahan dan bukan sebagai lembaga yang mandiri. Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut adalah dimungkinkannya BPK disetiap Provinsi.

 

Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna menjaga citra kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka perwakilan diluar ibu kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga negara tetap berfungsi hanya pada inti pokok tugasnya sebagai bagian dari lingkup  masalahnya ( karnzaken en problemn ) dan menjaga kualitas kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. Berdasarkan hukum keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaanmenyebabkan temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan dalam kebetulan ( by-chance ) dan tidak secara sistematis ( by-syistem )

 

Oleh sebab itu, kebetahanan BPK pada perubahan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab sekaligus pengolahan keuangan negara dan kedudukannya yang “ menurun “ sebagai organisasi administrasi negara mengingatkan kembali pada keberadaan Algemene Rekenkamer ( ARK, lembaga pemeriksa jaman kolonial belanda,   yang merupakan lembaga dibawah kroon ( pemerintahan kerajaan belanda). Dengan kedudukannya tersebut, ARK memerisa pengelolaan keuangan pemerintah dan mempunyai perwakilan disetiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridis-histiris, fungsi dan kedudukan BPK berdasarkan pasal 23E ayat (1) UUD 1945 memutar kembali fungsi dan kedudukannya seperti 350 Thun yang lalu.

 

Daftar Pustaka:

1.      KHN; Implikasi Amandemen Konstitusi Terhadap Perencanaan Pembangunan  Hukum; Jumat, 01 Juli 2005.  http://www. Komisihukum.go.id

2.                    ,Undang Undang Dasar 1945

3.                    ,Amandemen ke-3  Undang Undang Dasar 1945

4.                    ,Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

5.                     ,Undang-undang nomor  31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang nomor  20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-undang  nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

6.      Soepomo, SH, LLM ; Pemahaman Keuangan Negara2; Rabu, 22 Agustus 2007; http://www.djkn.depkeu.go.id

7.                    ,Badan Pemeriksaan Keuangan  Memprihatinkan; Rabu,03 Februari 2009; http://www.analisadaily.com;

8.      Atmadja, Arifin. P. Soeria, Prof.; Hukum Keuangan Negara Pasca 60 tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya bagi Indonesia Inc. Kamis 04 Februari 2009; http://www.pemantauperadilan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42&Itemid=12

9.      Atmadja, Arifin. P. Soeria.Prof; Mekanisme pertanggung jawaban keuangan negara:

Tinjuan yuridis. Jakarta : gramedia 1986

10.  _______. Keuangan publik dalam prespektif Hukum. Depok: badan penerbit FHUI, 2005