02 Maret, 2009

Perspektif Hukum, HAM dan Demokrasi

 

 

REFORMASI HUKUM DI PERSIMPANGAN:

MAMPUKAH MEWUJUDKAN INDONESIA YANG PATUH HUKUM'

Oleh

Harkristuti Harkrisnowo

 

 

PENDAHULUAN

Tiada seorangpun yang tidak terluka, marah, kecewa, tak berdaya dan seonggok perasaan negatif lainnya pada saat ini jika membaca, melihat dan mendengar pemberitaan yang disampaikan oleh media massa tentang berbagai bentuk ketidak patuhan hukum.  Mulai dari kasus-kasus yang kecil seperti pemerasan di terminal bisa menjelang orang 'mudik," sampai dengan penghakiman massa yang menelan korban jiwa, mulai dari kenakalan anak-anak sampai dengan kekeiaman orang dewasa seper-ti pada berbagai kasus pemboman, mulai dari pencurian di toko shoplifting) sampai dengan korupsi trilyunan rupiah oleh pejabat Negara..

Siapa pernah menduga bahwa berbagai bentuk kejahatan tersebut terjadi di Indonesia yang, katanya, terkenal sebagai bangsa yang penuh cinta kasih dan gemah ripah loh jinawi?  Indonesia, telah tumpah ruah dengan berbagai tindak kerusuhan, baik di kota besar maupun kota kecil, baik yang berskala besar maupun kecil.  Tiada pula seorang yang sanggup mengelak bahwa magnitude dari konflikkonflik yang terjadi beberapa tahun lalu di Sambas, Maluku Utara dan Ambon, Sampit dan Palangkaraya merupakan the worst spots of social conflicts apabila dilihat dari kehancuran dan kemusnahan yang diakibatkannya.  Sebagai salah satu dampaknya, vigilante justice seakan merebak bagai jamur di musim hujan.  Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa pelanggaran hukum ternyata bukan hanya dilakukan oleh masyarakat belaka, tetapi juga oleh pejabat negara dan penegak hukum.

Laporan-laporan media massa dengan nyata menunjukkan betapa telah merambahnya kasus-kasus yang menunjukkan bahwa masyarakat makin berani dalam menghakimi pihak yang mereka tuduh bersalah, dan langsung menjatuhkan vonnis dan melaksanakan eksekusi.  Ketakutan masyarakat akan keamanan diri dan lingkungannya akhir-akhir ini, oleh karenanya, sangat layak dipahami oleh karena terjadinya berbagai manifestasi konflik yang begitu mendalamnya, yang menimbulkan kegelisahan, kegeraman, kebencian, duka cita, kekhawatiran dan ketidaktenteraman masyarakat.  Betapa tidak, korban yang berjatuhan sudah sangat banyak; bukan hanya harta benda, tapi juga nyawa, yang seakan tidak ada artinya.  Lebih menyedihkan lagi, karena periistiwa macam ini ternyata tidak hanya terjadi baik di wilayah urban tapi juga wilayah rural yang selama ini dianggap aman dan damai belaka.

Dimanakah hukum ketika itu?  Tidakkah ia berfungsi antara lain sebagai guardian of the social order, seperti dikatakan oleh sebagai Radcliffe-Brown (1954), bahwa hukum tama maknanya dengan '...the maintenance or establishment of social order, within a territorial framework, by the exercise of coercive authority, through the use, or the possibility of use, of physical force..." . Bukankah hukum memiliki fungsi sebagai a) sarana pengendalian social, b) sarana penyelesaian sengketa, dan c) sarana rekayasa social ? terlalu sulit untuk mencari yustifikasi dan evidensi yang menunjukkan bahwa hukum di Indonesia telah memenuhi sebagi'an dari fungsi-sungsi tersebut.  Mengapa?

Berbagai pendapat mengenai muncul faktor korelatif dan kausatif terhadap tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang makin meningkat baik kuantita, kualita maupun modus operandinya.  Namun agaknnya tidak mudah untuk mencari satu kausa yang sahih untuk menjelaskan semua bentuk pelecehan hukum di Negara yang dulu dikenal dengan kartakteristik gemarh ripah loh jinawi.  Namun disepakati antar para pemerhati, bahwasanya lebih sederhana bila kita mencari common denominators dari faktor-faktor yang berkaitan dengan fenomenon ini --daripada mencari kausanya-- antara lain:

·     Kondisi sosial politik yang tidak menentu

·     Tingginya tingkat kesenjangan ekonomi

·     Tingginya tingkat KKN

·     Kelemahan proses penerapan hukum yang mengakibatkan rasa ketidakadilan (inkonsisten, diskriminatif, rentan akan intervensi, serta kurangnya profesionalisme & integritas)

·     Mispersepsi akan makna demokrasi

·     Belum diterapkannya prinsip-prinsip good governance dan kelemahan manajemen dalam penyelenggara kekuasaan negara

·     Tingginya Konflik sosial yang belum terselesaikan

·     Kelangkaan pemimpin yang mampu mandegani, mengayomi dan mengayemi

·     Kelemahan manajemen (hukum, personel dan operasional)

·     Tingkat pendidikan masyarakat belum merata

·     Penentuan kebijakan publik yang belum obyektif dan transparan

·     Rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan

·     Elit politik yang kurang menaruh perhatian pada problema rakyat.

 

Deretan masalah di atas makin diperburuk dengan kondisi lokal, utamanya yang berkenaan dengan penanganan kasus yang tidak segera dilakukan dan adanya ketidak pastian.  Sebagai akibatnya, timbul "masalah yang tersisa" bagi masyarakat setempat yang dapat menjadi contoh bagi anggota komunitas lain untuk melakukan hal yang sama, karena ternyata konsekuensi hukumnya tidak menurut mereka tidak jelas.

Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi dewasa ini merupakan kulminasi ketiadaan keadilan, the absence of justice yang dipersepsi masyarakat.  Dalam bahasa yang lain hal 'ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (disregardling the law), ketidak hormatan pada hukum (disrespecting the law ), ketidak percayaan pada hukum (distrusting the law), serta dalam beberapa hal, penyalahgunaan hukum (misuse of the law) yang selama ini terjadi oleh pihak-pihak yang berkuasa atau mempunyai akses pada kekuasaan.  Hukum yang dimaksud disini bukan sekedar aturan untuk acuan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat untuk mencapai keadilan sosial), tapi juga termasuk:

1 .  Proses pembentukan hukum yang lebih banyak merupakan ajang powergame yang mengacu pada kepentingan the powerful daripada the needy sangat sulit untuk diingkari.

2.   Proses penerapan hukum, baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif (tingkat atas, menengah maupun bawah) dan yudikatif dalam tugasnya melaksanakan hukum, sangat banyak dituding sebagai cerminan merosotnya kewibawaan hukum, dengan menonjoinya nuansa non-hukum (i.e. politik dan kekuasaan) daripada hukum (misainya lembaga yang kurang independen dan imparsial, penegakan hukum yang inkonsisten dan diskriminatif; intervensi kekuasaan terhadap hukum yang sulit dilacak dan dibuktikan, apalagi diproses;.

3.   Penegak hukum yang lemah integritas, pemahaman, koritrol dilinya, yang disepakati harus diubah.  Namun mengubah sistem dan muatan hukum jauh lebih mudah daripada mengubah sikap dan perilaku manusia, dan perubahan substantif menjadi tidak berarti apabila terjadi stagnasi dalam penegaknya sendiri.

 

Keterkaitan dan saling pengaruh antara faktor-faktor ini merupakan masalah yang utama yang menyebabkan buruknya persepsi masyarakat (nasional dan internasional) atas hukum di Indonesia, yang erat kaitannya dengan terciptanya budaya hukum atau legal culture, atau "a set of social traditions, attitudes and expectations concerning the law, a legal profession and an independent judiciary, together with a respect for these, and internalization of law-abidingness and of legal attitudes, procedures and ways of looking at things..."3 Muatan budaya hukum, dengan demikian, lebih terpaut pada law in action daripada law in the books.  Peranan dan fungsi hukum sebagaimana dipersepsi masyarakat ini mungkin saja (sangat) jauh berbeda dengan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan.  Disebut budaya hukum karena persepsi ini lalu dimanifestasikan meialui sikap dan perilaku mereka dalam transaksi-transaki yang bersentuhan dengan hukum.

Dapat dilihat misainya, pelanggaran hukum yang "diselesaikan" meialui transaksi warga masyarakat dengan penegak hukum, baik meialui proses (semu) hukum maupun di luar proses hukum (tapi dengan akibat hukum), menunjukkan bahwa hukum telah dianggap sebagai suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan.  Kenyataan seringkaii menunjukkan bahwa hukum hanya dipergunakan sebagai instrumen untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pembuat keputusan.  Maka, penyelesaian konflik cenderung untuk tidak dilakukan meialui hukum karena masyarakat yang tidak mempercayai bahwa pranata hukum yang ada mampu untuk menyelesaikan konflik mereka berdasarkan keadilan.

Mudah ditengarai pada awal proses "pergeseran kekuasaan" yang kemudian dikenal dengan (atau atas-) nama "reformasi" ]alu, nampak dengan jelas bahwa hukum teiah diabaikan bahkan dilecehkan dalam pelbagai bentuknya.  Aktor dalam

vigilante justice ini bukan hanya warga masyarakat (yang menjarah, membakar dil.) tapi juga penegak hukum (yang korupsi, menembak, menganiaya warga dll.). Sebagian pemerhati masalah sosial memandang pelanggaran hukum warga masyarakat sebagai refleksi ketidak puasan atas past condition, yang dilampiaskan meialui retaliation atau lex talionis terhadap kelompok atau simbol-simbol yang dipersepsi sebagai representasi --dan dalam beberapa kasus bahkan substitusi-ketompok yang diuntungkan pada masa orde baru.

Jelaslah bahwasanya keetiadaan equality before the law yang dialami warga masyarakat kebanyakan vis a vis warga kelompok tertentu yang memiliki akses (langsung maupun tak langsung) pada kekuasaan, harus diakui, merupakan suatu fakta sosial yang sangat menyolok pada masa orde baru, dan nampaknya belum berubah secara signifikan sampai sekarang.  Kesadaran akan adanya konsistensi inequality semacam ini yang beriangsung dalam waktu beberapa dasawarsa, tidak dapat tidak, telah menanamkan benih-benih perasaan tertentu pada diri warga, baik disadari maupun tidak.

Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi, daripada bidang humanisme dan budaya, makin memperburuk keadaan.  Pengembangan limu Pengetahuan dan Teknologi, termasuk pendidikannya, menjadi primadona dalam agenda pemerintah.  Pengembangan sumber daya manusia -yang dari istilahnya saja sudah mengobjektifikasi manusialebih dititikberatkan pada penguasaan ilmu dan teknologi, daripada penghayatan nilai-nilai manusia Indonesia yang pernah dijumpai dalam kitab sejarah (yang welasasih, suka menolong -sambat sinambat, gugur gunung--, mengutamakan intimitas milainya mangan ora mangan kumpui--, jujur, menghormati orang tua, melu handarbeni).

Memang benar bahwa proses modernisasi yang terjadi pada akhirnya mengacu pada modernisasi di barat yang dipadati dengan nilai-nilai yang tentunya juga berorientasi ke Barat.  Sedikit banyak proses ini telah mengakibatkan erosi dan dekadensi pada pranata-pranata yang secara tradisionil telah menopang sendi-sendi kemasyarakatan.  Namun di pihak lain ternyata berkembang pula sejumiah nilai yang kemudian menjadi "salah kaprah" karena diinterpretasikan selaras dengan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.  Sebagai contoh dapat dikemukakan asas "kekeluargaan," mikul dhuwur mendem jero, harmoni dan keseimbangan, yang dalam konsepnya yang orisinil tidak dimaksudkan untuk melegitimasi perilaku

menyimpang yang dilakukan salah satu anggota "in-group," atau menampilkan kebersamaan yang semulsuperficial.  Lebih parah lagi adalah bila redefinisi tersebut dilegalisasikan meialui ketentuan hukum atau kebijakan yang secara yuridis sah, walaupun secara sosiologis maupun fiiosofis masih layak dipertanyakan.

Secara ringkas, semua tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dengan mudah dapat dikonstruksi pada tindak pelanggaran terhadap hukum pidana, yang sebenarnya mengandung sanksi pidana yang tidak ringan.  Namun reaksi aparat atas kerusuhan ini juga tidak seragam, ada yang dengan segera memprosesnya, namun ada pula petinggi hukum yang menyatakan "sulit untuk mendeteksi, apalagi membawa kasusnya ke meja pengadilan." Pembiaran semacam ini, mudah diduga, menimbulkan encouragement baqi calon-calon penjahat (potential criminals) di bidang lain untuk bergerak.  Sayang sekaii

Dewasa ini nampaknya kerapuhan pranata-pranata yang menopang eksistensi masyarakat menjadi tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangan (yang mungkin semu) yang ada.  Mudah difahami bile ini semua merupakan refieksi dari pengabaian supremasi hukum yang berkeadilan yang telah membuahkan kepahitan bagi seluruh rakyat Indonesia

 

 

MEWUJUDKAN BANGSA INDONESIA YANG PATUH HUKUM:

MUNGKINKAH MELALUI PRANATA HUKUM SEMATA?

 

Apabila ditanyakan apakah hukum mampu mengatasi fenomenon ketidakpatuhan masyarakat dan para penyeienggara kekuasaan Negara -termasuk partai-partai politik -- pada hukum secara komprehensif, jawabnya sudah jelas: TIDAK.  Hal ini dikarenakan oleh kompleksitas permasalahan yang berkorelasi dengan periatiwa-peristiwa tersebut, sebagaimana diuraikan di atas.  Mungkin yang paling sulit pada masa ini adalah mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintah, mempercayai hukum, dan pada akhirnya mentaati hukum.

Tidak hendak disini diurai 'mengapa manusia pribadi melakukan pelanggaran hukum," karena uraiannya akan sangat panjang terutama jika ditinjau dari kriminologi.  Namun patut dicatat bahwa dalam teori kriminologi yang bersifat mikro, umumnya dua kelompok besar factor yang dapat mempengaruhi manusia dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan pelanggaran hukum, yakni:

1.   Faktor Internal:

Persepsi tentang hukum (sbg aturan berperilaku, kewajiban, paksaan adil.) Pengalaman (manis, pahit & hambar) tentang hukum termasuk pengalaman viktimisasi

Cost & benefit analysis (# finansial)

 

2.   Eksternal:

Citra & kinerja lembaga publik;

Kondisi masyarakat

Kontrol sosial oleh lingkungan (approvalldisapprovallindifference)

 

Namun pada dasarnya, menyususn strategi agar masyarakat dan pejabat menjadi patuh hukum tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan mendasar: mengapa orang patuh hukum?  Terhadap pertanyaan ini, Tom R. Tyler pernah mengemukakan two theories of compliance with the laW.4

1   Perspektif instrumental pada dasrnya mengetengahkan bahwa manusia membentuk perilakunya untuk menanggapi (respons) stimulus yang ada (dan berubah-ubah )

2.  Perspektif normatif mengungkapkan bahwa manusia mematuhi hukum karena hukum tersebut dianggapnya adil dan sesuai dengan morainya mengani baik dan buruk.  Kepatuhan ini juga dilandasi pemikiran individu yang mentganggap penguasa penegak hokum berwenang untuk menentukan tindakan yang taat hukum.

Masalahnya menjadi semakin rumit, karena pada saat ini persepsi publik tentang hukum memang sudah sangat buruk, yangmemandang hukum sebagai bukansaja alat pemegang kekuasaan, akan tetapi juga sebagai komoditi.  Secara ringkas dapat dikatakan bahwa membangun masyarakat yang peduli & taat hukum menuntut khususnya:

·     Teladan meialui good & law abiding behavior para pemimpin dan tokoh;

·     political will dari para pembuat keputusan untuk meletakkan hukum sebagai panglima;

·     Adanya grand design bagi reformasi hukum (yangkini begitu terkotak-kotak dan terfragmentasi);

·     Upaya yang terkoordinasi & sinergistik antar lembaga

·     Diciptakannya educated & informed public

·     Lembaga dan aparat yang professional, accountable dan memiliki integritas tinggi yangberpotensi meningkatkan access tojustice bagi publik

·     Membuka partisipasi publik

 

Dalam mendorong proses lmplementasi hukum, harus pula dijamin dan dipastikan bahwasanya proses ini:

·     Dilakukan berdasar due process of law (proceduraljustice)

·     Penetapan kewenangan diskresioner yang tegas yang diterapkan untuk the best interest of the society

·     Mempertimbangkan faktor-faktor non hukum yang relevan

 

 

PADA AKHIRNYA....

 

Beberapa upaya dapat diusulkan, untuk memecahkan keberadaan penyimpangan yang terjadidalam upaya melakukanreformasi hukum; namun harus tetap diingat bahwa pemberdayaan hukum belaka untuk mengatasi hal tersebut tidak mungkin berhasil tanpa didampingi oleh penataan kembali sistem politik dan ekonomi.  Upaya-upaya yang berkenaan dengan hukum misainya:

1.      Perumusan kembali hukum yang demokratis dan berkeadilan

Bahwasanya hukum di masa lalu (entah masa sekarang) telah menjadi Tools of The Rulers telah disadari bersama.  Oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah mengkaji kembali aturan-aturan yang ada dan melakukan revokasi (penarikan kembali), revisi (pengubahan) serta pemberiakuan ketentuan baru yang diperlukan.  Kewajiban ini bukan hanya diletakkan pada lembaga legislatif, tapi juga lembaga eksekutif yang pada dasanya lebih banyak mengeluarkan peraturan implementatif.  Budaya, kebutuhan dan potensi lokal haruslah mendapat perhatian yang jauh lebih besar daripada kepentingan pusat dalam rangka otonomi daerah.

 

2.      Peningkatan penegakan hukum

a.  Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum. Upaya kepolisian ini harus pula ditunjang oleh aparat penegak hukum lainnya Oaksa, hakim) agar perkara dituntaskan, dan tidak floating atau bahkan freezing, yang mencerminkan tidak berdayanya hukum.  Mengingat perilaku pelanaggaran hukum merupakan imbas dari serangkaian peristiwa yang bersangkutan dengan hukum di masa lalu.  Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, tindakan penegak hukum yang tidak diskriminatif dan menunjang equality before the law, bukan hanya terjadi penjahat jalanan, tapi juga penjahat "gedongan," (mantan) pejabat bahkan mantan presiden dan keluarganya.  Persepsi masyarakat akan keberpihakan (penegak) hukum pada kelompok tertentu hanya akan memperparah keadaan sekarang ini, karena sekelompok orang mungkin berjustifikasi "ikan besar saja dibiarkan liwat, apalagi teri-teri seperti kami."

b.   Harus ditekankan agar tidak terjadi lagi "pembiaran" atas pelanggaranpeianggaran hukum (mungkin karena polisi merasa "maju kena mundur kena").  Upaya proaktif dan reaktif yang dilakukan tidak dapat, karenanya, harus bersifat locus-specific berdasarkan social mapping yang telah dilakukan.  Para pengambil keputusan dalam bidang penegakan hukum pun harus menyadari bahwasanya tidak mungkin menerapkan strategi yang sama untuk semua wilayah di Indonesia.  Semua ini tidak mungkin pula dilakukan tanpa upaya untuk meningkatkan kinerja Poiri, utamanya dalam supporting equipments, karena keterbatasan sarana dan prasarana mempunyai dampak yang cukup signifikan dalam produktivitas mereka.

c.   Penyelesaian secara yuridis belaka seringkaii tidak berperan banyak apabila pranata hukum tidak dianggap lagi sebagai satu mekanisme penyelesaian sengketa yang impartial and fair.  Pemberdayaan hukum untuk menyelesaikan dan mencegah vigilantejustice tidak dapat berjalan seorang diri, namun harus didampingi dengan upaya-upaya sosial lainnya. Upaya utama adalah membuat rakyat --terutama mereka yang terlibat dalam vigilante justice -untuk mempercayai bahwa pranata hukum (baik substansi maupun apart penerapnya) mempunyai kontribusi dalam menyelesaikan masalah mereka.  Komitmen pemerintah untuk memberdayakan hukum melalui pencanangan supremasi hukum yang berkeadilan tidak lagi dapat terjadi sebatas retorika saja, akan tetapi sudah mulai harus dilaksanakan meialui action plan yang lugas dan aspirataif.  Namun tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam hal ini, tidak akan hukum dapat berperan banyak.

 

3.      Pengikut sertaan rakyat dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan (demokratisasi)

Upaya ini dimaksudkan agar rakyat ditempatkan sebagai subyek, bukan obyek untuk diatur, agar menimbulkan sense of belonging mereka dalam kehidupan bernegara.  Tanpa adanya partisipasi publik akan sangat sulit bagi masyarakat untuk melihat kesungguhan pemerintah dalam penyelenggaraan tugasnya yang benar-benar menyarakan kepentingan mereka.  Ketidak jelas dan ketidak transaparanan proses pengambilan keputusan membuat masyarakat mempertanyakan: apakah kepentingan mereka diprioritaskan ?

 

4.      Penerapan konsep Good Govemance

Konsep ini berkenaan dengan: a) legitimasi pemerintah (tingkat demokratisasi) b) akuntabilitas pemerintah (pembuatan keputusan yang transparan, mekanisme pertanggungjawaban pemerintah dan kebebasan pers), c) kompetensi pemerintah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan; dan d) penghormatan pemerintah pada HAM dan rule of law (perlindungan atas hak individu dan kelompok, kerangka kegiatan ekonomi dan sosial, serta partisipasi publik).

 

 

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus